"Misalnya 100 orang berkumpul di dalam kelas diberikan hak voting, di atas meja mereka melihat sepotong kue, bukan "batu". Tapi kemudian 70 orang dibayar masing-masing Rp 25 ribu dengan syarat mengatakan yang di lihat di atas meja itu "batu" bukan  kue.
Hasil voting-nya? Yang mengatakan di atas meja itu "batu" 70 persen, dan yang mengatakan di atas meja itu kue hanya 30 persen. Suara terbanyak mayoritas mengatakan "batu" yang menang.
Berada dalam dunia politik bukan tentang benar atau salah melainkan tentang menang dan kalah. Meski masih waras, haqqul yaqin yang dilihatnya sepotong kue tapi hanya 30 persen minoritas jumlahnya, kalah.
Money politics sudah bukan hal yang baru lagi bagi para pelopor politik. Money politics bahkan sudah dijadikan sebagai jalan untuk memenangkan politik untuk partai-partai atau oknum-oknum yang curang.
Namun, money politics tidak hanya diberikan kepada mereka yang memiliki hak suara saja, tetapi juga diberikan kepada pemegang kekuasaan rakyat. Ini yang menyebabkan kekuasaan sudah bukan di tangan rakyat lagi, melainkan di tangan "uang", sehingga kedaulatan bukan untuk rakyat melainkan untuk "pemilik uang" yang jadi pemodal.
Dampak dengan adanya money politics dapat merusak bangsa. Dalam prakteknya money politics merusak sistem demokrasi di Indonesia, dan menyebabkan demokrasi yang sakit atau tidak stabil.
Demokrasi yang harusnya "bebas" menjadi tidak bebas lagi, hanya karena pembelian hak suara tersebut. Kedaulatan yang seharusnya milik semua orang, sekarang hanya menjadi pemilik uang. Selain itu, praktek money politics di sini juga dapat merusak moral demokrasi.
Karena rakyat memilih pemimpin bukan lagi karena asas kepemimpinannya, bukan karena kinerjanya, bukan karena visi dan misinya, melainkan karena uang yang diberikan untuk menambah hak suara demi kepentingan oknum politisi yang haus kekuasaan. Bahkan hukum dan moral ditundukkan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat menurunkan moral bangsa, karena masyarakat memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa.
Kaum intelektual memang salah satu yang harus menyelesaikan persoalan tersebut, namun perlu digaris bawahi sebab kaum intelektual sering disebut sebagai agen perubahan.