Eksistensialisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang terutama diasosiasikan dengan para filsuf Eropa abad ke-19 dan ke-20. Meskipun terdapat banyak perbedaan doktrinal di antara mereka, para pemikir eksistensialis sepakat bahwa filsafat harus berangkat dari subjek manusia bukan sekadar manusia yang berpikir secara rasional, tetapi manusia yang hidup, merasa, dan bertindak.
Nilai utama dalam eksistensialisme sering dianggap sebagai kebebasan, tetapi sebenarnya nilai tertingginya adalah autentisitas (keaslian diri). Dalam pandangan eksistensialis, individu memulai perjalanannya dari apa yang disebut sebagai sikap eksistensial, yaitu perasaan disorientasi, kebingungan, dan ketakutan di hadapan dunia yang tampak tanpa makna dan absurd. Banyak filsuf eksistensialis juga menolak bentuk filsafat akademik yang terlalu abstrak karena dianggap jauh dari pengalaman konkret manusia sehari-hari.
Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam aliran ini adalah Jean-Paul Sartre. Ia menyatakan bahwa:
> “Manusia pertama-tama ada, bertemu dengan dirinya sendiri, muncul di dunia dan baru kemudian mendefinisikan dirinya.”
Pernyataan ini bermakna bahwa tidak ada naskah hidup yang sudah ditulis sebelumnya. Tidak ada peran tetap sejak lahir, dan tidak ada makna bawaan yang harus dijalani. Kita muncul begitu saja di dunia, lalu mulai menulis naskah makna hidup kita sendiri melalui tindakan dan pilihan yang kita ciptakan. Sartre menegaskan bahwa kita “dikutuk untuk bebas” sebuah kebebasan yang tidak dapat dihindari.
Namun, kebebasan ini sering ditutupi oleh kehidupan sosial yang “default”, yaitu sistem nilai hasil kesepakatan bersama yang seolah menjadi standar hidup normal. Misalnya, mengikuti agama secara buta, mengejar karier demi status, membeli barang mewah, menikah, lalu punya anak. Semua itu dianggap sebagai jalan hidup ideal oleh masyarakat. Padahal, bagi eksistensialis, manusia dapat atau bahkan seharusnya memilih jalan yang berbeda jika itu sesuai dengan dirinya yang autentik.
Kita bebas untuk menjadi ateis tanpa harus terikat pada agama mana pun, bebas untuk percaya atau tidak terhadap keberadaan Tuhan, bebas untuk menjadi pengangguran ketimbang terjebak dalam rutinitas kerja tanpa makna, bebas untuk tidak menikah, atau bahkan menjadi antinatalis yang menolak kelahiran baru. Pilihan-pilihan semacam ini sering dianggap melawan arus oleh masyarakat karena melanggar “kontrak sosial” yang telah diwariskan berabad-abad. Namun, bagi eksistensialis, hal itu bukan penyimpangan melainkan bentuk keaslian dalam menentukan arah hidup sendiri.
Manusia dan Asal-Usul Kehidupan
Pada dasarnya, manusia bukanlah makhluk istimewa atau memiliki tujuan kosmis tertentu. Kehadiran kita hanyalah hasil kebetulan dari proses evolusi panjang. Kehidupan di Bumi muncul setelah planet ini terbentuk melalui proses kimiawi yang dikenal sebagai teori sup purba (primordial soup), yaitu kondisi awal Bumi sekitar 3,7–4,0 miliar tahun lalu ketika kehidupan pertama muncul dari materi tak hidup.
Istilah sup purba pertama kali dikemukakan oleh Alexander Oparin (ahli biokimia asal Rusia) dan J.B.S. Haldane (ilmuwan asal Inggris) pada 1920-an. Mereka berpendapat bahwa atmosfer Bumi muda bersifat reduktif kaya metana, amonia, hidrogen, dan uap air tetapi miskin oksigen. Dalam kondisi tersebut, molekul organik sederhana dapat terbentuk secara spontan dari zat anorganik.
Pada masa itu, Bumi masih panas dan sering dilanda petir serta aktivitas vulkanik. Tidak ada lapisan ozon, sehingga sinar ultraviolet langsung mengenai permukaan Bumi. Zat kimia dari atmosfer dan daratan kemudian larut dalam lautan purba, menciptakan “kaldu kimia” tempat molekul kompleks terbentuk. Energi dari petir dan sinar UV memicu reaksi yang menghasilkan asam amino, gula sederhana, dan nukleotida bahan dasar DNA, RNA, dan protein.
Proses ini berkembang secara bertahap:
1. Molekul organik sederhana berkumpul membentuk struktur kompleks seperti koaservat atau protobion (gelembung kimia sederhana).
2. Struktur tersebut mulai menunjukkan reaksi kimia mandiri dan kemampuan mereplikasi diri.
3. Dalam jutaan tahun, evolusi kimia ini melahirkan sel hidup pertama (prokariotik).
Dilempar ke Dunia Tanpa Petunjuk dan kita pun bingung
Manusia tidak pernah bisa memilih di mana atau kapan ia dilahirkan. Kita dilempar begitu saja ke dunia tanpa membawa apa pun. Keadaan ini seperti seseorang yang terdampar di lautan luas tanpa kompas dan tanpa arah. Dari sinilah muncul berbagai pertanyaan mendasar: Apa tujuan hidup ini? Mengapa kita ada?
Eksistensialisme melihat bahwa pertanyaan-pertanyaan ini muncul secara alami karena kesadaran manusia membuatnya sadar akan absurditas keberadaan. Dunia ini tidak memiliki makna bawaan; kitalah yang harus menciptakannya sendiri. Atau mungkin tidak menciptakan nya sama sekali. Dalam hal ini, kebebasan bukan sekadar anugerah, melainkan juga beban tanggung jawab. Kita bebas menentukan hidup, tetapi juga harus menanggung konsekuensi dari pilihan itu. Dan untuk menjaga keteraturan dalam kekacauan ini, manusia menciptakan sistem seperti agama, tuhan, dan ideologi bukan karena itu mutlak benar, tetapi untuk menutupi kekosongan eksistensi yang menakutkan.
Kita Memainkan Peran, Suka atau Tidak suka
Dalam menjalani kehidupan, suka atau tidak suka, manusia dipaksa untuk memainkan peran tertentu. Ada yang menjadi dokter, presiden, tentara, seniman, pedagang, pelajar, PNS, karyawan swasta atau bahkan pengangguran dan nihilistis. Setiap orang hidup dalam skenario yang berbeda, tapi sama-sama diikat oleh kenyataan eksistensi.
Dan juga hal ini memunculkan pertanyaan:
Apakah kita sungguh menikmati peran yang kita jalani?
Ataukah kita sekadar terpaksa untuk melakukannya karena sudah terlanjur dilempar ke dunia ini?
Ini menjadi sebuah dilema yang rumit.
Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban pasti atau objektif. jika dilihat Dalam skala kosmik yang luas, semua peran dan makna hidup kehilangan relevansinya. Apa pun yang kita anggap penting hanyalah ilusi kecil yang diciptakan oleh kesadaran agar hidup terasa berarti padahal, alam semesta tetap diam dan acuh terhadap makna yang kita ciptakan.
Kesimpulan dari saya
Eksistensialisme mengingatkan bahwa hidup bukan tentang mencari makna yang sudah ada, melainkan menciptakannya sendiri di tengah absurditas. Dunia ini tidak menawarkan kepastian, dan itulah sebabnya manusia harus berani menentukan jalannya sendiri, meskipun berlawanan arah dengan arus umum. Seperti Sartre katakan, kita dikutuk untuk bebas dan dari kutukan itulah keaslian sejati manusia muncul.
PERINGATAN !!!
TULISAN ARTIKEL INI HANYA UNTUK ORANG-ORANG
KHUSUS YANG PIKIRAN NYA TERBUKA PENUH
UNTUK PEMBACA AWAM TIDAK DISARANKAN MEMBACA INI
TERIMA KASIH.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI