Mohon tunggu...
Hazim Sigit Ardityo
Hazim Sigit Ardityo Mohon Tunggu... penulis

hobi membaca buku terutama filsafat, dan penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Eksistensialisme: kita pada awalnya tidak punya takdir

6 Oktober 2025   20:10 Diperbarui: 6 Oktober 2025   19:34 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi eksistensialisme

Pada masa itu, Bumi masih panas dan sering dilanda petir serta aktivitas vulkanik. Tidak ada lapisan ozon, sehingga sinar ultraviolet langsung mengenai permukaan Bumi. Zat kimia dari atmosfer dan daratan kemudian larut dalam lautan purba, menciptakan “kaldu kimia” tempat molekul kompleks terbentuk. Energi dari petir dan sinar UV memicu reaksi yang menghasilkan asam amino, gula sederhana, dan nukleotida bahan dasar DNA, RNA, dan protein.

Proses ini berkembang secara bertahap:

1. Molekul organik sederhana berkumpul membentuk struktur kompleks seperti koaservat atau protobion (gelembung kimia sederhana).

2. Struktur tersebut mulai menunjukkan reaksi kimia mandiri dan kemampuan mereplikasi diri.

3. Dalam jutaan tahun, evolusi kimia ini melahirkan sel hidup pertama (prokariotik).

Sup purba yaitu asal muasal kehidupan paling awal
Sup purba yaitu asal muasal kehidupan paling awal

Dilempar ke Dunia Tanpa Petunjuk dan kita pun bingung

Manusia tidak pernah bisa memilih di mana atau kapan ia dilahirkan. Kita dilempar begitu saja ke dunia tanpa membawa apa pun. Keadaan ini seperti seseorang yang terdampar di lautan luas tanpa kompas dan tanpa arah. Dari sinilah muncul berbagai pertanyaan mendasar: Apa tujuan hidup ini? Mengapa kita ada?

Eksistensialisme melihat bahwa pertanyaan-pertanyaan ini muncul secara alami karena kesadaran manusia membuatnya sadar akan absurditas keberadaan. Dunia ini tidak memiliki makna bawaan; kitalah yang harus menciptakannya sendiri. Atau mungkin tidak menciptakan nya sama sekali. Dalam hal ini, kebebasan bukan sekadar anugerah, melainkan juga beban tanggung jawab. Kita bebas menentukan hidup, tetapi juga harus menanggung konsekuensi dari pilihan itu. Dan untuk menjaga keteraturan dalam kekacauan ini, manusia menciptakan sistem seperti agama, tuhan, dan ideologi bukan karena itu mutlak benar, tetapi untuk menutupi kekosongan eksistensi yang menakutkan.

Kita Memainkan Peran, Suka atau Tidak suka

Dalam menjalani kehidupan, suka atau tidak suka, manusia dipaksa untuk memainkan peran tertentu. Ada yang menjadi dokter, presiden, tentara, seniman, pedagang, pelajar, PNS, karyawan swasta atau bahkan pengangguran dan nihilistis. Setiap orang hidup dalam skenario yang berbeda, tapi sama-sama diikat oleh kenyataan eksistensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun