Mohon tunggu...
Hayyun Nur
Hayyun Nur Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pemerhati Sosial

Seorang penulis frelance, peminat buka dan kajian-kajian filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

ZILZA

6 April 2019   03:45 Diperbarui: 22 Januari 2021   09:44 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Skenario Ilahi Tak Terduga

Hari itu,  kami bertujuh.  Saya,  Mama, neng Susi,  anak Inka dan Rangga,   Wiwi,  dan bayi kami yang baru lahir. Tepat ketika musibah gempa, tsunami dan Likuifaksi 6 hari lalu itu, kami berada di RS Bersalin Nasanapura. RS ini terletak di bagian paling Timur wilayah kelurahan Petobo.  Kelurahan ini terletak di bagian paling Selatan Kota Palu.  Berbatasan langsung dengan Kabupaten Sigi.  Berbatasan langsung pula dengan Kelurahan tempat kami sekeluarga tinggal.  Kawatuna.  Ujung paling selatannya.

Kelurahan Kawatuna, tempat kami tinggal,    merupakan batas paling Timur  Kota Palu. Kelurahan ini terletak di  dataran tinggi. Tak heran bila sebagian rumah penduduk dan pemukimannya  berada di perbukitan. Setidaknya berbatasan langsung dengan bukit-bukit kecil dan  gunung.  

Di Kawatuna ini terdapat sebuah gunung yang legendaris.  Oleh masyarakat setempat  dikenal dengan  nama Bulu(1) Masomba. Gunung berbentuk serupa layar perahu ini, oleh masyakat Kota Palu  diyakini sebagai bagian dari layar perahu Sawerigading. Seorang tokoh di kisah epik I Lagaligo  yang menurut legenda melayari seluruh perairan Sulawesi. Hingga perahunya terdampar di lembah Kaili.  Dari Bulu Masomba ini pula nama Pasar Masomba di daerah Tatura Kota Palu, berasal. Pasar Masomba ini berada tepat di samping Timur  Mall Tatura Palu yang saat ini ikut ambruk hampir tak berbentuk.

Posisinya yang di dataran tinggi itu, membuat Kawatuna kini menjadi salah satu titik pengungsian paling aman. Sekaligus juga menjadi jalur evakuasi utama korban tewas dari kelurahan Petobo dan Kabupaten Sigi ke posko utama Tim Evakuasi. Kini hampir tiap saat, siang dan malam,  24 jam tiada henti, ambulance evakuasi melewati kampung halaman saya ini.

Kelurahan Petobo,  di mana RS Bersalin Nasanapura berada,  tempat neng Susi,  istri saya, melahirkan anak ketiga kami, benar-benar menerima dampak sangat parah akibat gempa berkekuatan 7,4 SR di Jum'at petang jelang maghrib itu. Betapa tidak, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, punahnya sebuah kelurahan. Dari ujung Timur hingga Barat.  Utara ke Selatan. Sejauh mata memandang, hanyalah gunungan lumpur, reruntuhan rumah penduduk,  berikut ribuan penghuninya,  pepohonan dan hewan-hewan yang beberapa hari lalu masih diternakkan warga.  Kini semua tinggal gunungan lumpur.   Benar-benar amblas rata dengan tanah.  Punah tak bersisa. Tinggal puing-puing tak berbentuk.

Di ujung paling Barat kelurahan yang kini luluh lantak inilah kami berada ketika guncangan besar itu terjadi.

Keberadaan kami di RS ini, terkait dengan kondisi neng Susi yang sedang dalam persiapan melahirkan. Sesuai janji dengan dokter Wulan sehari sebelumnya,  neng Susi sedianya akan dioperasi cesar pada hari Sabtu. Di RS ini. Untuk kepentingan itu,  mestinya kami baru berada di RS pada Jum'at sore. Setidaknya 12 jam sebelum tindakan operasi. Namun jadwal masuk RS, ternyata harus dipercepat.  

Di malam Jum'at itu, sekira pukul 01.00, tanpa disangka,  neng Susi sudah merasakan kontraksi. Jelang subuh kontraksinya semakin  ajeg.  Setiap 15  menit sekali. Kondisinya yang seperti itu,  memaksa rencana harus diubah.  Tak bisa lagi menunggu hingga sore. Sesuai janji dengan dokter. 

Harus segera masuk RS.  

Harus pagi itu juga.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun