Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kegagalan Maurita

16 November 2017   15:56 Diperbarui: 16 November 2017   19:47 1879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesosok tubuh yang mengambang di danau itu, membuat Maurita menunda keinginannya meneguk secangkir kopi yang sedari subuh ia seduh. Kebiasaan yang mampu merangsang kebahagiaannya setiap hari adalah menyeruput kopi sambil menikmati jernih danau yang airnya berubah warna sesuai arah angin dan cuaca.

Pagi ini, mendung mengubah warna danau menjadi kelabu, bukit-bukit hijau disekitarnya masih tertutup kabut, matahari belum membayang sedikit pun, ketika pemandangan itu seperti memadamkan pemandangan yang telah puluhan tahun dinikmati Maurita.

Cepat-cepat ia menuruni tangga dapur, menuju halaman belakang agar ia bisa berada di tepi danau dan menyaksikan lebih jelas, apakah benar itu tubuh atau bukan, manusia ataukah binatang. Ia meletakan cangkir kopi di salah satu anak tangga, lalu berjalan ke arah danau, rerumputan yang berembun terusik oleh kaki telanjangnya yang dilangkahkan amat tergesa, bahkan setengah berlari, Maurita menyingkap rok hingga ke betis agar bisa lebih leluasa. 

Tiba di tepian danau ia berdiri mematung, matanya nanar menatap tubuh, yang ternyata benar-benar tubuh manusia, terapung di tengah danau, Maurita berusaha tetap tenang meski rasa panik perlahan merayapi pikirannya. Ia mendekati sampan yang tertambat di sisi lain danau, membuka tali pengikat yang tersimpul di pohon cemara, lalu mendorong dan menaiki sampan itu, ia mendayung ke tengah danau mendekati tubuh yang mengambang, agar bisa melihatnya lebih jelas.

Tubuh yang tertelungkup itu, terlihat kurus dibalut kaus putih dan celana kargo hitam. Kedua tangannya terangkat ke atas seperti dalam posisi menyerah. Maurita menerka tubuh itu berjenis kelamin lelaki, terlihat dari potongan rambutnya yang cepak dan pinggangnya yang tanpa lekuk. Telapak kakinya memucat dan keriput. Dengan waspada Maurita mendekatkan sampan persis ke samping tubuh itu, ia menyentuh nadi di salah satu pergelangan, seketika ia tersentak nadi itu berdenyut seperti juga miliknya, pertanda tubuh itu hidup.

Sembari menjaga keseimbangan tubuhnya di atas sampan, Maurita menguatkan tenaga di kedua tangannya dan berusaha membalik tubuh itu agar ia bisa melihat wajah dan bagian depannya, sekaligus memastikan bahwa pemiliknya memang lelaki. Dengan susah payah, akhirnya Maurita berhasil juga, percikan air danau membasahi wajah dan bajunya, ia duduk di atas sampan dengan nafas terengah, tapi matanya tak pernah berpaling dari tubuh yang masih tetap terapung. 

Tubuh itu telah menampakan bagian depannya, di atas kulit wajah yang telah memucat itu tertempel sebatang hidung yang sederhana, tak juga pesek, mancung juga tidak, bibir tipisnya setengah terbuka mungkin menjadi satu-satunya jalan udara agar ia bisa bertahan hidup, matanya tertutup rapat, di salah satu keningnya yang lebat terdapat tahi lalat kecil. 

Maurita mencoba memastikan sekali lagi, apakah tubuh itu memang masih hidup, ia menempelkan telapaknya di dada yang bidang itu, ada detakan, tapi cenderung lemah. Apa yang sebaiknya kulakukan pada tubuh ini? Maurita berpikir, jika ia membiarkan tubuh ini tetap di sini, maka bisa dipastikan ia bisa menemukan pemandangan baru setiap pagi, tidak hanya air danau yang jernih dan kabut yang mengelilinginya, tetapi tubuh ini akan menjadi titik penglihatannya, apakah itu menganggu atau tidak tentu sangat tergantung dari pikiran dan perasaannya, selain itu bau busuk kemungkinan akan menyebar hingga ke kolong tempat tidurnya, karena tubuh ini pasti lambat laun akan menjadi mayat jika tetap dibiarkan mengapung seperti ini. 

Namun, haruskah Maurita mengangkatnya ke atas sampan dan mendamparkannya di tepi danau? Atau membawanya masuk ke rumah? Sesungguhnya naluri terdalam Maurita tak tega menatap tubuh itu terus menerus mengambang di atas air. Sudah berapa lama tubuh itu berada disana? Maurita membatin. 

Pada akhirnya Maurita mengabaikan semua tanya-tanya yang hilir mudik di imajinya, ia tak peduli pada teriakan-teriakan yang terus menggema di lorong pikirannya yang memintanya untuk tetap membiarkan tubuh itu berada di atas air dengan bermacam alasan. 

"Itu orang asing, kamu tak mengenalnya" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun