Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akulah Pembunuhnya

20 September 2019   02:34 Diperbarui: 20 September 2019   02:38 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : pixabay.com

Aku membalikan tubuhku saat aku melihat ibuku menangis. Tapi aku tak peduli lagi, aku sudah menuntaskan apa yang harus aku lakukan. Membunuh preman yang sudah melukai bapakku. 

Kini aku lega walau aku harus mempertangunjawabkan perbuatanku. Itu tak mengapa. Jeruji penjara tak akan pernah memenjarakan aku , tak akan pernah sama sekali. Semua aku ikhlas semua demi bapak. Demi pengorbanan bapak selama ini untuk menghidupi anak dan istrinya. Itu saja.

Sejujurnya aku tadinya hanya tahu bapak kerja di pasar. Entah apa yang dikerjakannya. Tapi yang aku lihat semua jerih payahnya selalu diberikan pada ibu. Aku bangga pada bapak walau hanya keja di pasar saja. Saat di sekolah ditanya apa pekerjaan bapakku, aku dengan bangga mengatakan bapakku kerja di pasar. Saat ditanya kerja apa di pasar. 

Aku dengan berkeras hati tetap menyebutnya kerja di pasar. Sampai semua temanku lelah menanyakan yang pasti bapak kerja di pasar itu kerja apa. Bagiku apapun pekerjaan bapak tapi bapak sudah tanggungjawab bagi keluarga , itu sudah cukup bagiku. Ternyata kebutuhan sekolahku semakin banyak, akhrinya sepulang sekolah aku selalu mulung sampah. Hasilnya bisa buat jajan dan menambah buat bayar uang buku.

            "Sudah kamu gak usah mulung, biar bapak saja yang kerja,"tukas bapak padaku

            "Gak apa, pak, daripada aku main , lebih baik aku mulung sampah, ada hasilnya." Bapak cuma bisa diam saja. Tapi dari memulung sampah akhirnya aku jadi tahu apa pekerjaan bapakku di pasar.

Sore itu aku sampai ke pasar. Aku yakin di sana pasti banyak botol plastik bekas. Sepanjang koridor pasar aku jelajahi. Bener juga banyak botol di sana. Sampai terdengar suara bentakan . Aku mengintip dari balik tembok. Astaga , itu bukan bapak. Bapak diam di hadapan pria yang sedang marah.

            "Kenapa hasilnya hanya segini!" Bentak pria itu

            "Mereka lagi banyak kebutuhan."

            "Kamu percaya begitu saja, mereka itu hanya mau menghindar dari bayar. Kamu ngerti gak? Dasar gak becus kamu kerja,"teriak pria itu, Dipegangnya tubuh bapak dan disepaknya sampai bapak terduduk. Aku menahan nafasku agar tak terlihat mereka. Beberapa kali bapak dipukul pria itu. Bapak tersungkur dan uang diberikan pada bapak dengan dilempar.

            "Ini uangmu, tapi ingat kalau besok kamu gak bisa kasih lebih. Lebih baik , kau keluar dari pekerjaan ini. Paham." Pria itu bergegas keluar pasar. Aku menghampiri bapak. Aku papah bapak sampai rumah. Sesak rasanya dadaku. Bapak yang terpaksa meminta uang kemananan setiap kios di pasar atas suruhan bosnya. 

Aku tahu bapak tak mungkin seperti itu, semua terpaksa karena keadaaan. Aku begitu marah dengan pria itu. Akan aku balaskan rasa sakit bapak untuknya. Lihat saja nanti.

Esoknya tanpa pikir panjang lagi, aku menghampiri pasar. Bapak hari ini tak kerja karena tubuhnya masih sakit. Aku lihat pria itu berdiri di ujung pasar. Sekali-kali dia menengok kanan kiri mencari seseorang. 

Digengamn pisau yang terasa dingin. Saat sampai di sebelah pria itu tanpa ampun aku tusukan ke perut pria besar itu. Pria itu roboh berlumuran darah. Tubuhku bergetar .

            "Aku sudah membunuh," tukasku di hadapan bapak .

            "Dia tak akan menyakiti bapak lagi,"tukasku. Ibu menjerit dan merangkulku. Bapak terdiam sesaat .

            "Lalu apa hasilnya? Kamu bakal di penjara,"tukas bapak

            "Tapi bapak akan aman , tak akan ada yang menyakiti lagi." Aku menunduk. Biarlah aku membela bapakku. Aku tak mau bapakku diperlakukan semena-mena. Dia , bapakku. Aku menyayanginya. Bapakku orang yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Tak ada satu orangpun yang boleh menghinanya.

Kini dalam sunyi , di balik jeruji aku tetap tersenyum. Pasti bapak akan selalu aman karena pria itu sudah tiada. Dan aku tak pernah menyangka kalau tiga hari kemudian ibuku bercerita kalau bapak dibunuh preman pasar. Atas dasar balas dendam. Aku hanya bisa terdiam. Diam dalam sunyinya jeruji

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun