Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Akhirnya Terbuka Mata Hatinya

27 April 2018   03:00 Diperbarui: 27 April 2018   03:07 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : http://carabisabahasainggris.com

Aku tersenyum melihat rumah kreatif milik Sasha anakku.  Tak aku rasakan begitu banyak hal yang harus diperjuangkan. Begitu banyak air mata yang harus aku keluarkan . Begitu banyak cibiran yang harus aku dengar.

                "Ah, kamu kena kutukan Dinda. Lihat anakmu cacat. Sudah autis, lumpuh lagi."

                "Ah, kasihan kamu. Dosa apa kamu?"

                "Amit-amit jabang bayi. Jangan sampai deh aku punya anak seperti itu." Begitulah orang-orang sering berkata padaku. Aku hanya bisa diam dan diam-diam menangis di kamar saat tak ada orang. Betapa kejam mereka. Tak punya perasaan sama sekali. Aku harus berjuang sendiri untuk membesarkan Sasha. Sendiri. Begitulah nasibku.

Mas Danu menyesal sekali melihat kondisi Sasha tapi dia gak kuat mental. Dia menyerah dengan omongan ibunya. Dan dia lebih mendengar ibunya daripada mendengar istri dan anaknya. Mas Danu malu memiliki Sasha. Dia lebih suka menyuruh Sasha di rumah saja. Dia berusaha untuk menyembunyikan Sasha dari siapapun. Berapa kali aku protes , mas Danu selalu saja berkeras. Selalu diakhiri dengan pertengkaran.

Hidup seperti ini rasanya susah. Sudah kondisi Sasha demikian dan aku sungguh lelah. Sampai akhirnya keputusan gila ada di benakku. Aku minta cerai pada mas Danu. Tanpa ada penolakan mas Danu menyetujuinya. Ada rasa perih . Ternyata cintanya tak sebesar apa yang aku harap. Dia lebih memilih pisah daripada melihat Sasha darah dagingnya sendiri. Aku hanya bisa menangis. Meratap sendiri di kamar sampai kering air mataku.

Tapi air mata ini untuk siapa? Hidupku harus terus berjalan. Masih ada harapan di ujung sana yang akan aku coba raih.

                "Sudahlah nduk. Kamu tinggal sama ibu saja. Biar ibu bantu ngurus Sasha juga,"tukas ibu. Hanya ibulah yang mengerti perasaan aku.

                "Bukan karena kamu keturunan yang jelek Dinda. Dari keturunan ibu dan ayah tak ada satupun yang cacat. Jangan menyalahkan dirimu. Ini sudah menjadi takdirmu. Rawatlah Sasha. Jadikanlah dia bintang. Allah pasti memberikan sesuatu kelebihan pada Sasha."

                "Iya, bu. Aku mengerti ."  Begitulah aku merawat Sasha dengan penuh kasih. Aku ajarkan agar dia mandiri. Walau dia lumpuh kakinya, dia bisa berjalan dengan kedua tangannya. Kalau di luar rumah Sasha selalu pakai kusi roda. Aku tak pernah malu mengajak Sasha keluar rumah. Walau banyak orang memandang sinis dan aneh.

Aku juga mengajarkan pada Sasha untuk biasa saja dan tetap tabah saat melihat orang mencibir dirinya. Sasha tumbuh sebagai pribadi yang madiri. Terapi di sekolahnya karena autisnya  berjalan baik. Sasha sudah bisa mengfokuskan pada satu hal. Sasha suka sekali seni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun