Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mari Kawal Pengembangan Energi Baru Terbarukan Indonesia

7 Oktober 2017   19:39 Diperbarui: 7 November 2017   14:17 2703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prinsip utama pengembangan EBT adalah desentralistik (pengembangan tersebar), bukan sentral, dalam arti pola konglomerasi harus ditinggalkan bila hendak mengembangkan EBT secara benar dan berkelanjutan. Maka pengembangan EBT bisa saja berbeda strategi dan model satu daerah dan daerah lainnya.

Perundang-undangan harus mengikuti kondisi lokal, baik regulasi yang telah dan/atau akan terbit haruslah diejawantah pada tingkat pemerintah daerah atau pemerintah desa (otonomi yang sesungguhnya). Pemda haruslah membuat peraturan daerah (Perda) lalu follow up dengan penerbitan peraturan desa (Perdes), agar benar-benar berbasis kearifan lokal dengan tentu outputnya menghindari kerugian investasi dan resistensi masyarakat dan lingkungan.

Pertamina telah melakukan riset dan aplikasi beberapa kegiatan sehubungan dengan EBT ini, guna mengantisipasi kelangkaan BBM berbasis fosil, beberapa diantaranya sumber EBT dari matahari, panas bumi, hydrotermal, geotermal, energi laut, hayati atau biomassa, sampah, dll. Namun tentu pula masih menemui beberapa kendala dalam penelitian dan aplikasinya. Pastinya mari kita berhenti berpikir dan menganalisa untuk tidak mengaplikasi EBT bersumber dari bahan baku (hayati) yang masih bisa dimanfaatkan atau dikonsumsi langsung oleh manusia dan hewan.

Sampah Merupakan Primadona EBT

Sekian banyak sumber daya EBT yang ada di Indonesia, beberapa sumber memang sangat strategis dikembangkan sampai ke pelosok nusantara yang sekaitan dengan potensi dan terkondisi nilai investasi. Sebut misalnya energi matahari, air sungai dan laut, angin dan sampah.

Kemungkinan yang paling potensi dan primadona dikembangkan adalah sampah. Di mana sampah Indonesia didominasi sampah organik sekitar 70-80%, sisanya merupakan sampah anorganik dan sampah B3, belum terhitung sampah dari kotoran hewan (kohe) dan limbah pertanian/perkebunan lainnya.

Kenapa sampah menjadi primadona? Karena mengelola sampah menjadi energi, bukan semata hanya menyelesaikan masalah energi atau mencapai pemenuhan target energi nasional, tapi terlebih akan menyelesaikan masalah sampah itu sendiri sebagai sasaran utama (menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat), sementara energi yang dihasilkan oleh sampah itu merupakan bonus saja. Ini harus difahami benar agar tidak salah melangkah dalam mengelola sampah menjadi energi (wastetoenergy),  tentu akan menyelesaikan masalah-masalah lainnya (fungsi ganda)

Kendala Pengelolaan Sampah Indonesia

Timbul pertanyaan, kenapa selama ini pemerintah gagal melaksanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) serta pengelolaan sampah secara umum? Karena pemerintah dan mitranya hanya berhitung dari sisi bisnis atas operasional PLTSa tersebut. Ahirnya terjadilah pilihan teknologi tidak ramah lingkungan (Incenerstor,Pyrolisis dan Gasifikasi), metode ini memang canggih dan modern.

Namun, biaya operasionalnya sangat tinggi khususnya dalam menarik tiping fee operasionalnya. Sangat tidak valid dengan teknologi ini untuk mengelola sampah di Indonesia. Karena sampah Indonesia menghasilkan energi relatif kecil ketika dibakar (insenerasi). Rata-rata energi yang bisa diubah menjadi listrik, atau sering disebut nilai kalor, hanya paling tinggi di angka 1200 kcal/Kg-kering.

Sedangkan, nilai kalor yang dibutuhkan agar insinerator bisa beroperasi dengan baik adalah sampah di angka 2000-2500 Kcal/Kg-kering, jadi memerlukan pengeringan sekitar 3-4 hari, tentunya berimplikasi pada kesiapan lahan yang cukup luas, ini yang menjadi kendala utama dalam pengelolaan sampah padakotamesar/metropolitan ataukotamegapolitan Jakarta khususnya yang sudah minim lahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun