Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mari Kawal Pengembangan Energi Baru Terbarukan Indonesia

7 Oktober 2017   19:39 Diperbarui: 7 November 2017   14:17 2703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Caption: Pertamina memberdayakan energi panas bumi sebagai alternatif energi baru. Sumber gambar: industri.kontan.co.id

Dari tahun ke tahun PT. Pertamina Persero, sebagai perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) di sektor energi (minyak dan gas) terus menunjukkan pencapaian kinerjanya yang cukup signifikan, baik dari sisi kualitas produk maupun distribusinya. Pertamina telah dan akan merealisasikan berbagai proyek kilang serta beberapa upaya perusahaan berplat merah tersebut dalam mencapai target operasionalnya. Namun paling menarik dan menyentuh serta dirasakan langsung dampaknya oleh seluruh masyarakat Indonesia adalah  kebijakan "BBM Satu Harga".

Strategi pelaksanaan kebijakan pemerintah dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam mewujudkan "BBM Satu Harga" dengan menugaskan PT. Pertamina untuk membangun lembaga terintegrasi dalam penyaluran BBM di 148 kabupaten/kota sampai dengan tahun 2019, semoga tahun-tahun berikutnya merambah ke 514 kabupaten/kota Indonesia.

Kebijakan BBM Satu Harga artinya, harga BMM di Papua sama saja harganya di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan atau di Sumatera (terlampir gambar grafis). Sebuah pencapaian kinerja Pertamina luar biasa, tentu semua atas kerja keras direksi dan jajarannya yang cukup solid. Kinerja demi kinerja positif yang diaplikasi oleh Pertamina ini tentu memberikan pembelajaran yang baik, khususnya kepada BUMN lain. Sebuah fakta bila BUMN dikelola dengan baik pasti memberikan nilai tambah yang besar bagi bangsa dan negara.

Caption foto: PT Pertamina Mewujudkan BBM Satu Harga. Sumber: Pertamina
Caption foto: PT Pertamina Mewujudkan BBM Satu Harga. Sumber: Pertamina
Diyakini bersama bahwa Pertamina tentu tidak berpuas diri dengan pencapaian tersebut, pasti melakukan perubahan atau inovasi. Karena hanya perusahaan yang inovatif mampu bertahan hidup di tengah arus globalisasi. Begitu pula Pertamina pasti menemui tantangan berat yang tidak sedikit sebagai perusahaan negara.

Tentu ada saja masalah bisa muncul dan mengancam kelangsungan perusahaan bila tidak di-manage dengan profesional seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang sudah menuntut kualitas. Tantangan itu bisa dari sisi produk yang habis tergerus dan perilaku konsumen terhadap lingkungannya, paling utama dituntut kesigapan Sumber Daya Manusia (SDM) Pertamina yang harus survivedan lebih profesional lagi, tentu sebuah keharusan pula perusahaan memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan SDM yang dimiliki untuk memberi pelayanan prima kepada masyarakat (konsumen).

Inovasi paling penting atas diversifikasi produk tentu harus beralih ke Energi Baru Terbarukan (EBT), di mana EBT sebagai energi alternatif pengganti energi fosil. EBT yang dijamin keberlangsungannya (sustainable) tersebut memerlukan penanganan serius dan fokus serta terintegrasi hulu-hilir pula.


Sejak lama Pertamina telah memulai aktivitas dalam mencari terobosan dalam inovasi EBT. Karena suka tidak suka energi fosil akan habis ditelan masa. Pertamina harus melakukan berbagai inovasi baru untuk mencari dan menemukenali energi alternatif ini, Pertamina telah melakukan gerakan-gerakan massif di seluruh Indonesia, termasuk kegiatannya melibatkan perguruan tinggi dan masyarakat serta dunia usaha untuk menemukan inovasi baru dalam pengembangan dan pemanfaatan EBT di Indonesia.

Solusi Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT)

Pertamina Akan Mendorong Pertanian Terpadu Bebas Sampah. Sumber data/grafis: Asrul Hoesein
Pertamina Akan Mendorong Pertanian Terpadu Bebas Sampah. Sumber data/grafis: Asrul Hoesein
Pengembangan EBT Indonesia secara umum belum memberi hasil signifikan dan hampir seluruh program pemerintah masih menemui kendala-kendala. Walau sesungguhnya secara regulasi sudah cukup baik, namun dari sisi implementasi belumlah berjalan sesuai dengan harapan. Pemerintah harus fokus dan jangan harap berhasil bila dalam pengembangan EBT mengedepankan ego sektoral, haruslah terjadi sinergitas antar kementerian/lembaga dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).

Pada prinsipnya pengembangan EBT, itu harus berbasis komunal (kawasan atau wilayah) dengan memperhatikan kearifan lokal yang ada, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah sangat luas didunia, sekitar 17.508 pulau dan total luas nusantara 5.193.250 Km. Luas daratan Indonesia sekitar 1/3 dari luas seluruh Indonesia sedangkan 2/3-nya berupa lautan. Dengan perbandingan itu Indonesia dijuluki sebagai negara maritim atau negara kelautan yang mencakup 60% lautan dan 40% daratan, Jumlah total populasi sekitar 260 juta penduduk.

Tentu ini semua membutuhkan energi dan pangan yang tidak sedikit jumlahnya serta meningkat terus sesuai kemajuan peradaban atau kesejahteraan. Potensi sumber daya alam sangat kaya ini, tentu Indonesia memiliki sumber daya EBT yang besar pula. Tapi semua memerlukan kreativitas yang tinggi dan kerjasama yang baik serta terbebas tentunya dari unsur koruptif. Karena sifat dan karakter koruptif ini yang paling mencederai pembangunan dan terkhusus melukai inovasi-inovasi baru.

Prinsip utama pengembangan EBT adalah desentralistik (pengembangan tersebar), bukan sentral, dalam arti pola konglomerasi harus ditinggalkan bila hendak mengembangkan EBT secara benar dan berkelanjutan. Maka pengembangan EBT bisa saja berbeda strategi dan model satu daerah dan daerah lainnya.

Perundang-undangan harus mengikuti kondisi lokal, baik regulasi yang telah dan/atau akan terbit haruslah diejawantah pada tingkat pemerintah daerah atau pemerintah desa (otonomi yang sesungguhnya). Pemda haruslah membuat peraturan daerah (Perda) lalu follow up dengan penerbitan peraturan desa (Perdes), agar benar-benar berbasis kearifan lokal dengan tentu outputnya menghindari kerugian investasi dan resistensi masyarakat dan lingkungan.

Pertamina telah melakukan riset dan aplikasi beberapa kegiatan sehubungan dengan EBT ini, guna mengantisipasi kelangkaan BBM berbasis fosil, beberapa diantaranya sumber EBT dari matahari, panas bumi, hydrotermal, geotermal, energi laut, hayati atau biomassa, sampah, dll. Namun tentu pula masih menemui beberapa kendala dalam penelitian dan aplikasinya. Pastinya mari kita berhenti berpikir dan menganalisa untuk tidak mengaplikasi EBT bersumber dari bahan baku (hayati) yang masih bisa dimanfaatkan atau dikonsumsi langsung oleh manusia dan hewan.

Sampah Merupakan Primadona EBT

Sekian banyak sumber daya EBT yang ada di Indonesia, beberapa sumber memang sangat strategis dikembangkan sampai ke pelosok nusantara yang sekaitan dengan potensi dan terkondisi nilai investasi. Sebut misalnya energi matahari, air sungai dan laut, angin dan sampah.

Kemungkinan yang paling potensi dan primadona dikembangkan adalah sampah. Di mana sampah Indonesia didominasi sampah organik sekitar 70-80%, sisanya merupakan sampah anorganik dan sampah B3, belum terhitung sampah dari kotoran hewan (kohe) dan limbah pertanian/perkebunan lainnya.

Kenapa sampah menjadi primadona? Karena mengelola sampah menjadi energi, bukan semata hanya menyelesaikan masalah energi atau mencapai pemenuhan target energi nasional, tapi terlebih akan menyelesaikan masalah sampah itu sendiri sebagai sasaran utama (menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat), sementara energi yang dihasilkan oleh sampah itu merupakan bonus saja. Ini harus difahami benar agar tidak salah melangkah dalam mengelola sampah menjadi energi (wastetoenergy),  tentu akan menyelesaikan masalah-masalah lainnya (fungsi ganda)

Kendala Pengelolaan Sampah Indonesia

Timbul pertanyaan, kenapa selama ini pemerintah gagal melaksanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) serta pengelolaan sampah secara umum? Karena pemerintah dan mitranya hanya berhitung dari sisi bisnis atas operasional PLTSa tersebut. Ahirnya terjadilah pilihan teknologi tidak ramah lingkungan (Incenerstor,Pyrolisis dan Gasifikasi), metode ini memang canggih dan modern.

Namun, biaya operasionalnya sangat tinggi khususnya dalam menarik tiping fee operasionalnya. Sangat tidak valid dengan teknologi ini untuk mengelola sampah di Indonesia. Karena sampah Indonesia menghasilkan energi relatif kecil ketika dibakar (insenerasi). Rata-rata energi yang bisa diubah menjadi listrik, atau sering disebut nilai kalor, hanya paling tinggi di angka 1200 kcal/Kg-kering.

Sedangkan, nilai kalor yang dibutuhkan agar insinerator bisa beroperasi dengan baik adalah sampah di angka 2000-2500 Kcal/Kg-kering, jadi memerlukan pengeringan sekitar 3-4 hari, tentunya berimplikasi pada kesiapan lahan yang cukup luas, ini yang menjadi kendala utama dalam pengelolaan sampah padakotamesar/metropolitan ataukotamegapolitan Jakarta khususnya yang sudah minim lahan.

Bila mengelola sampah hanya berdasar perhitungan bisnis semata, maka dapat dipastikan bahwa masalah sampah tidak selesai, tetap menyisakan masalah. Paradigma berpikirnya harus dirubah dengan mendahulukan sektor pelayanan publik dan tentu tetap memperhitungkan nilai ekonomi/bisnisnya, baik pada pemerintah (menghasilkan pendapatan asli daerah), pengusaha (margin) dan masyarakat dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan serta pendapatan dalam mengelola sampah.

Harus berpikir bahwa dalam mengelola sampah adalah sebuah kewajiban pemerintah dalam melayani warganya, atau merupakan pelayanan publik (public service), maka perhitungan bisnisnya soal berikut setelah fungsi pelayanan.

Sebut satu contoh, Perpres 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Prov. DKI Jakarta, Bandung,Tanggerang, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Makassar. Tujuan utama perpres ini dalam rangka mengubah sampah menjadi sumber energi dan memperbaiki kualitas lingkungan. Tapi dalam fakta (rencana aplikasi) itu melabrak regulasi persampahan yang ada misalnya Pasal 4 UU Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampahberbunyi: "Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya."

Makna pasal inibahwa akan menjadikan sampah sebagai sumber daya. salah satu tujuan pengelolaan sampah dengan mendahulukan peningkatan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan. Lalu bergeser ke Pasal 13 UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah berbunyi "Pengelola  kawasan  permukiman,  kawasan  komersial,    kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum,  fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah". Makna pasal-pasal ini bahwa dalam mengatasi sampah, hendaknya dilakukan pengelolaan di sumber timbulan sampah, artinya pengelolaan sampah tanpa/bukan di kelola pada Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA).

Termasuk keberadaan Perpres 18/2016 menimbulkan ancaman serius yang tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia sehingga bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Organik yang Persisten dan UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Karena Perpres 18 Tahun 2016 ini melabrak regulasi tersebut diatas, maka kami Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah (penulis termasuk salah seorang penggugat) mengajukan permohonan Uji Materi Perpres 18 Tahun 2016 ke Mahkamah Agung (MA) dan  ahirnya MA mencabut perpres tersebut pada ahir tahun 2016. Maka harus ekstra hati-hati dalam menentukan teknologi.

Apa yang Harus Dilakukan?

Karena fungsi atas pelayanan publik, maka pemerintah tetap harus mengelola sampah, tetapi sesuai dengan norma-norma yang telah ada. Baik itu UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah maupun PP.81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, serta regulasi penunjang lainnya.

Regulasi sampah sudah bagus, hanya saja perlu ditindak lanjuti dengan aturan-aturan di setiap daerah (menyesuaikan kearifan lokal yang ada), termasuk sekaitan pemenuhan target EBT berbasis sampah.

Apa sampah menghasilkan hanya energi? Tidak. Beberapa produk yang bisa dihasilkan dari daur ulang sampah sebelum menjadi energi. Sebijaknya pengelolaan sampah memperhatikan karakteristik sampah Indonesia, termasuk keharusan melibatkan langsung masyarakat (pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah). Ini juga berfungsi ganda kepada perusahaan (sebut misalnya PT Pertamina sebagai perusahaan BUMN), di samping akan mendapatkan energi dan produk lainnya juga akan memenuhi kewajiban perusahaan terhadap kepedulian lingkungannya dalam pendampingan pengelolaan sampah di masyarakat (fungsi corporate social responsibility/CSR).

Untuk memenuhi pengelolaan berbasis ramah lingkungan (sustainable). Pertamina bisa pula mendorong pengembangan pertanian organik berbasis sampah (Integrated Farming Zero Waste).

Sampah merupakan sebuah sumber daya yang bisa mengurai beberapa masalah antara lain, masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan, pangan dan energi. Dalam mencapai maksud tersebut, perlu diketahui sebagai berikut:

  • Pemerintah harus fokus dalam mengembangkan EBT, jangan banyak target dan wacana macam-macam, tapi aplikasi berbasis kearifan lokal, itu kunci keberhasilan pengembangan EBT secara sustainable, dan paling penting hindari inkonsistensi regulasi.
  • Pemerintah hakekatnya adalah memberi pelayanan kepada masyarakat dan memiliki tugas untuk melayani masyarakat, tidak mendahulukan bisnis tapi menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Ini menjadi dasar berpikir dalam pengembangan EBT (non BBM fosil). Energi Fosil dan EBT berbeda prinsip dasar pekerjaannya. Tidak boleh disamakan.
  • Apapun jenis sumber EBT. Regulasi harus berpihak pada rakyat (desentralistik), bukan pola konglomerasi (sentralisasi). Namun tetap diharapkan bermitra dunia usaha (investor dalam dan luar negeri) dengan pola Public - Private Partnership (kerja sama pemerintah dengan swasta). Sinergikan stakeholder sehingga menjadi sebuah pekerjaan yang terintegrasi hulu-hilir (desentralisasi).
  • Proses pengelolaan sampah dalam analisa perundang-undangan, khususnya Pasal 4 dan Pasal 13 UU.18 Tahun 2008, seharusnya mengahasilkan pupuk organik, olahan sampah anorganik serta produksi listrik melalui rekayasa biodigester (biogas) skala kawasan (artinya sampah bila hendak menghasilkan listrik, terlebih dahulu sampah diproses menjadi biogas). Alternatif teknologi non-thermal itu adalah pilihan yang lebih bijak mengingat sekitar 70-80% sampah yang dihasilkan di Indonesia adalah sampah mudah membusuk dari daun-daunan, sisa makanan atau bangkai hewan (sampah organik).

Kesimpulan

Dalam pengelolaan sampah yang benar, dipastikan akan memperoleh manfaat ganda (multi efek) terhadap pemerintah, perusahaan dan masyarakat secara umum. Antara lain akan mendukung Ketahanan Pangan dan Energi Nasional serta upaya perlindungan lingkungan dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga suhu panas bumi dapat menurun atau diturunkan melalui pengelolaan sampah. Upaya berkesinambungan ini harus dilakukan, mengingat Indonesia berada di jalur transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Indonesia merupakan salah satu negara G20 dengan porsi energi terbarukan yang cukup tinggi dalam bauran energi primer, tetapi pengembangan energi terbarukan termasuk tertinggal dibandingkan dengan negara G20 lainnya.

Daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia juga memburuk, sedangkan kerangka regulasi untuk energi terbarukan berada dibawah sejumlah negara G20. Kenapa demikian, karena faktor-faktor antara lain telah disebutkan di atas. Diyakini bahwa dengan mengembangkan sampah berbasis komunal orientasi ekonomi ini, sesuai regulasi yang ada,  Indonesia mampu mengejar ketertinggalan dari negara lain dalam pengembangan EBT sekaligus mewujudkan Ketahanan Pangan dan Energi Nasional berbasis pengelolaan sampah yang terintegrasi dengan seluruh pemangku kepentingan.

AsrulHoeseinDiary


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun