Pasalnya jika pemerintah ingin meningkatkan nilai tambah nikel dalam negeri, sepertinya perhitungan dengan menggunakan nilai ekspor produk turunan kurang tepat. Karena perhitungan perpindahan rantai nilai perlu dianalisis lebih detail. Terlebih kebijakan hilirisasi ini juga diwarnai larangan ekspor untuk pendukungnya.
Selain itu, dengan adanya larangan ekspor untuk mendukung hilirisasi, komoditas bahan baku yang belum banyak diolah karena tak adanya teknologi yang mumpuni, terpaksa dijual ke pasar domestik yang harganya jauh di bawah harga global. Baru dua kasus itu saja, Indonesia bukannya mendapatkan nilai tambah namun malah berkurang penghasilan.Â
Road map jelas terkait hilirisasi industri nikel, dari mulai jumlah potensi di hulu, hingga beberapa jumlah smelter yang dibangun, teknologi yang dipakai dan pasar yang akan menyerap produk jadi olahan nikel, belum sempurna disiapkan pemerintah. Lantas, siapa yang seharusnya mengurus peta jalan tersebut?
Angka triliunan yang ada di ekspor maupun realisasi investasi, setelah dihitung-hitung nyatanya sudah termasuk potensi pendapatan yang hilang. Ketidaktransparan ini yang mungkin banyak masyarakat yang belum mengerti.
Apabila pemerintah transparan dan guyub tak hanya kepada setiap stakeholder industri nikel namun juga masyarakat Indonesia, program hilirisasi bisa sukses melebihi capaian yang kita punya sekarang. Entah mengapa, Kementerian ESDM yang mengatur harta karun nikel dari mulai jumlah cadangan di tanah, BUMN yang mengelola, perusahaan swasta yang mengelola, hingga perizinan tak banyak menjelaskan kepada masyarakat, seperti ada yang ditutupi. Bagaimana menurutmu?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI