Mohon tunggu...
Humaniora

Hukum Islam Acara 7 Bulanan

3 April 2017   05:35 Diperbarui: 6 April 2017   23:00 61398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tujuh Bulanan Wanita Hamil

            Umat Islam di Indonesia terutama di pulau Jawa, saat menyambut putera dan putrinya pertama ternyata masih melakukan ritual-ritual yang tidak ada perintah dari Nabi Muhammad SAW. Acara itu adalah Mitoni(saat berusia tujuh bulan), dan juga tingkeban. Sebagian melakukan ketiga-tiganya, ada pula yang melakukan acara mitoni dan tingkeban, ada pula yang melakukan tingkeban saja karena mitoni dianggap sama dengan tingkeban.

            Sejarah tradisi ini berawal pada masa Prabu Jayabaya, waktu itu ada sepasang suami istri bernama Niken Satingkeb dan Sadiya, mereka melahirkan anak sembilan kali namun tidak satupun yang hidup. Kemudian keduanya menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya), mereka disarankan agar menjalankan tiga hal yaitu: 1)Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tempurung kelapa (bathok). 2) Setelah mandi berganti pakaian yang bersih dengan menggembol kelapa gading yang dihiasi Kamajaya dan Kamaratih/Wisnu dan Dewi Sri yang diikat dengan daun tebu tulak, lalu dibrojolkan ke bawah, setelah kelapa gading tadi dibrojolkan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.

            Setelah itu Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Sebagian orang Jawa, (dan juga selainnya termasuk Sunda, Minang, Dayak dan lainnya) mempercayai bahwa mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih.

            Mitoni dan tingkeban dilaksanakan saat kehamilan berusia tidak boleh kurang dari 7 bulan. Karena tidak ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan, maka hari selasa atau sabtu yang digunakan. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan.Ternyata tradisi Mitoni, dan Tingkeban yang sering dijumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi yang berasal dari agama Hindu, yaitu dalam KitabHindu Upadesa. Di dalam kitab,disebutkan bahwa Telonan, Mitoni, dan Tingkeban dilakukan untuk memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Acara ini sering juga dikenal dengan Garba Wedana (garba berarti perut, wedana berarti sedang mengandung).

Maksud dan Tujuan

           Telonan disebut juga pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip) atau ruh kehidupan. Mitoni untuk melakukan ritual sambutan, yaitu penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) atau ruh kehidupan si bayi. Dan yang terbesar tingkeban berupa janganan,yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara”yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu: darah, air, barah, dan ari-ari yang oleh orang Jawa disebut kakang kawah adi ariari.

            Tingkeban dilakukan guna memanggil semua kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudarayang keluar bersama saat bayi dilahirkan. Bayi dan kakang kawah ari-ari bersama-sama diupacarakan, diberi pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan alam. Ari-ari yang keluar bersama bayi dibersihkan dengan air dan dimasukkan ke dalam tempurung kelapa, atau guci. Guci kemudian ditanam di pekarangan, di kanan pintu apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil atau guci yang berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga bulan. (Kitab Upadesa, tentang ajaran-ajaran Agama Hindu, oleh : Tjok Rai Sudharta, MA. dan Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja, cetakan kedua 2007).

Sebagian Umat Islam Masih Melaksanakan

           Sebagian umat Islam di Indonesia masih melaksanakan tradisi ini. Akan tetapi dengan tata cara yang berbeda(atau dibedakan) dengan tradisi Jawa. Keluarga yang memiliki ibu yang hamil tujuh bulan mengajak tetangga-tetangganya guna dimintai pertolongan untuk membacakan beberapa surat tertentu dari Alquran, seperti Surat Yusuf, Surat Maryam, Surat Yasin, dll. Mereka membaca bersama-sama dengan bagian yang berbeda-beda, surat yang panjang biasanya dibagi dua atau tiga orang, sehingga dalam waktu kurang lebih setengah jam bacaan Alquran sudah selesai dan diakhiri dengan pembacaan doa oleh imamnya.

            Selamatan kehamilan 7 bulanan tidak ada dalam ajaran Islam dan tradisi ini termasuk Bid’ah. Upacara adat tujuh bulanan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang beragama Islam, juga dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak yang dikandung. Dan setidaknya mereka melakukan upacara tersebut untuk tujuan kebaikan dan keselamatan bayinya, harapan mereka agar anak yang akan lahir menjadi anak yang shalih, menjadi hamba Allah yang jujur, bermanfaat bagi agama dan bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun