Mohon tunggu...
Rena Siva
Rena Siva Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

https://www.wattpad.com/user/Rena_Siva Instagram : rena_siva08 Salam kenal. Terima kasih sudah mampir ke blog saya. Hanya satu pesan jangan menyalin karya saya tanpa izin ya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pendamping Hidupku

15 Januari 2018   10:09 Diperbarui: 15 Januari 2018   10:14 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bagaimana menurutmu kebaya ini, Dre? Cantik enggak?" Tanyanya kepadaku.

Sudah dua jam kami berdua mengelilingi pasar Tanah Abang, mencari kebaya pernikahan. Sebagai laki-laki, mungkin aku terlalu penurut. Mau-maunya dengan setia mengikutinya pindah dari satu toko ke toko yang lain. Pegal juga rasanya kakiku ini. Nyaris seperti mati rasa. Entah gadis di sampingku ini, merasakan hal yang sama atau tidak? Kulihat wajahnya sehat-sehat saja dan tak terlihat lelah. Malah asik dari tadi memilih-milih baju yang berjajar rapi di setiap toko. Perempuan, jika sudah hobi belanja seluas apapun dunia tetap akan dijelajahi, asal ada uang.

"Aduh! Dre, kayaknya yang kebaya pink kombinasi gold lebih bagus deh," ucapnya lagi. Dia mulai bimbang.

Aku melirik sekilas. Ya, memang cantik apalagi jika kamu yang pakai Diana.

"Mbak, tolong ambilin yang di ujung itu," pintanya. "Dre, tolong kamu pegang yang aku bawa ini. Aku mau coba kebaya itu."

Aku pun mengambil alih empat kebaya dari tangannya. Sedangkan Diana, dengan santainya berjalan meninggalkanku seorang diri menuju ke dalam toko untuk mencoba kebaya yang berwarna pink tadi.

Hah, aku harus mengelus dada, menghadapi sifat manja dan egois gadis satu ini. Dan, kenapa pula aku harus kepincut dengannya. Karena dia cantik, pintar, keturunan orang kaya, dan berbagai pesona lain yang ada pada dirinya hingga sampai detik ini membuatku tak mau melirik wanita lain. Sungguh, Tuhan telah menancapkan cinta sejatiku untuk Diana seorang. Hingga, aku layaknya merpati putih yang hanya bisa mencintai pasanganya tanpa mampu berpaling.

"Ayolah Dre, berikan pendapatmu?" Rengkeknya, membuat tanganku gemes ingin mencubit kedua lesung pipinya yang mengoda itu.

"Semuanya bagus Diana. Cocok untukmu, kamu beli saja semua kebaya ini. Nanti aku yang bayar," ucapku spontan. Dia cemberut tak puas dengan ucapanku.

"Iya... Semua memang bagus. Tapi, bukan berarti aku harus beli lima kebaya ini. Mas Dito bisa marah nanti."

"Lalu, kenapa kamu tak minta Dito saja yang menemanimu memilih baju? Malah ngajakku yang jelas bukan pendamping pernikahanmu," kataku cemburu.

Dia melirikku sekilas. "Kamu kan tahu, dia sibuk kerja di kantor. Mana ada waktu untukku."

Lalu kenapa kamu malah memilihnya jadi calon suamimu? Jika dia tak mampu selalu ada untukmu. Tak bisakah kamu melihat siapa yang jelas ada untukmu, protesku dalam hati.

Jujur, aku tak mampu mengatakan kalimat itu padanya. Ya, Diana telah memilih Dito, sahabatku untuk menjadi calon suaminya tiga bulan lalu. Harusnya, aku yang dia pilih. Andai saja aku mengatakan kalimat 'Diana, Aku Mencintaimu' dan melamarnya lebih dulu. Mungkin, aku tak akan menjadi laki-laki ngenes seperti ini. Memilihkan kebaya untuk seorang perempuan sudah jelas akan bersanding dengan laki-laki lain di pelaminan.

Aduh Dre. Malang sekali nasibmu.

"Coba kamu foto kebaya itu dan kirimkan padanya," saranku ketus.

"Enggak aah... Aku lebih suka kebaya pilihanmu." Tolaknya, membuat hatiku semakin teriris.

Aku tak tahu pasti kenapa Diana memilih Dito. Dito lebih ganteng daripada aku? Hah, gak mungkin! Nenek-nenek pikun juga tahu, jika aku lebih ganteng darinya. Dito lebih terkenal dariku? Itu juga salah, justru aku yang lebih terkenal darinya. Dito itu adalah pengawai kantorku sedangkan aku, adalah Bossnya. Sudah jelaskan siapa yang lebih kaya. Diana! Diana! Apa kamu tak bisa melihat kenyataan ini? Kamu akan lebih bahagia jika hidup denganku.

"Yang putih ini lebih cocok untukmu," ucapku memberikan kebaya putih pilihanku kepadanya dengan senyuman hambar.

"Oh, ya!" Dengan ceria dia peluk kebaya itu dan meminta Mbak Penjaga Toko untuk mengemasnya.

Hatiku benar-benar sakit, setelah memilihkan kebaya itu. Warna putih, tanda kepolosan, keutuhan dan kesempurnaan. Sebuah tanda awal hubungan yang ingin ku gabai bersamamu, Diana. Sayang, itu hanya akan jadi angan-anganku saja. Saat berada di parkiran pasar ini pun, aku hanya bisa menatap semu sosok Diana yang berlari kecil dihadapanku. Rasanya, dia semakin menjauh dariku. Dan, sulit untukku mengapainya.

Entah keputusanku ini salah atau tidak? Aku harus mengagalkan rencana pernikahan ini, sebelum hatiku semakin sakit nantinya. Toh, Diana bukan tipe gadis yang bisa hidup sederhana. Mana mungkin, dia mau hidup susah dengan Dito yang berasal dari keluarga miskin itu. Dia lebih pantas denganku, karena aku dan Diana ditakdirkan dari keluarga kaya dan terhormat sejak lahir.

"Diana!"

Dia menoleh ke belakang dan menatapku penuh tanda tanya. "Ada apa, Dre?"

"Dari kecil, aku sudah menyukaimu bahkan perasaan ini lebih dari kata suka. Aku ingin kamu batalkan pernikahanmu dengan Dito. Dan, jadilah pendamping hidupku."

@@@

Akhirnya, hari yang paling bahagia untukku dan Diana pun tiba. Dengan gagah, aku berjalan menghampiri Diana yang sudah cantik dengan kebaya yang aku pilihkan waktu itu. Aku tak pernah menyangka gadis kecil yang manja dan selalu merengkek saat permintaannya tak kuturuti, kini menjadi sosok gadis yang dewasa dan siap mengarungi bahtera rumah tangga. Bahkan, telah berani mendahuluiku untuk menikah.

"Dito, tolong jaga Diana untukku," ucapku sambil memeluk sosok laki-laki pilihannya.

"Aku akan selalu menjaganya. Terima kasih telah datang ke pernikahan kami," balasnya menepuk bahuku pelan.

Kini aku benar-benar berhadapan dengan gadis pujaanku. Dalam kisah ini, aku hanya menjadi tamu terhormatnya bukan pendamping hidupnya. Pahit memang. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa cukup menerimanya.

"Selamat Diana. Gadis centilku kini sudah menjadi istri sah, Dito Sanjaya. Jangan merengkek lagi kepadaku kalo minta apa-apa, tapi ke suamimu," candaku.

Diana memukul bahu pelan, "apaan sih, Dre. Siapa juga yang suka merengkek sama kamu," bantahnya malu.

Aku dan Dito tertawa bersamaan.

Walaupun terasa berat, aku harus ikhlas menerima kenyataan pahit ini. Sepupu yang aku cintai telah menjadi milik sahabatku sendiri. Aku masih ingat percakapan terakhir ku dengannya di parkiran waktu itu.

"Maksud kamu apa Dre?" Diana terkejut dengan pernyataan cintaku. "Kamu pasti bercanda kan."

"Aku serius. Dari kamu TK, hingga saat ini aku masih menyukaimu. Tak pernahkah kamu sadar kenapa aku selalu berada di sisimu setiap kamu butuh? Aku bahkan merelakan rapat pentingku hari ini, di kantor. Hanya untuk menemanimu membeli kebaya ini. Semua aku lakukan, karena aku benar-benar mencintaimu."

Diana tak berkata apa-apa.Tetap diam dan bersikap tenang seolah yang aku katakan adalah kebohongan.

"Aku tak tahu apa hebatnya sosok Dito. Aku tahu kamu Diana! Mana mungkin, kamu sanggup hidup meralat dengan Dito. Seumur hidupmu, tangan halusmu bahkan tak pernah menyentuh cucian kotor."

Aku diam sesaat, mengatur nafasku sebelum melanjutkan percakapan ini. "Diana... Aku mohon, batalkan pernikahanmu," pintaku dengan harapan dia mau menjawab, 'Iya Dre, akan kubatalkan pernikahanku'.

Bukannya menjawab permintaanku, Diana malah berlari memeluk erat tubuhku. Aku harap dia mulai sadar dengan kebodohannya memilih Dito menjadi calon suaminya. Ternyata tidak, dia tidak menitihkan air mata atau tersentuh dengan kejujuranku. Setelah dia melepas pelukannya, dia tatap kedua bola mataku kemudian tersenyum padaku.

"Dito memang tak bisa memanjakanku, seperti halnya orang tuaku dan dirimu yang selalu memenuhi seluruh kemauanku.Tapi, dia mengajariku sesuatu yang berbeda, yang tak pernah kalian ajarkan. Bukan tentang uang yang berujung kemewahan. Tapi, tentang bagaimana menghargai uang dalam kesederhanan."

Aku mengerutkan kening. Bertanya-tanya, apa maksud perkataannya? Hingga, kalimat itupun keluar di bibir mungilnya.

"Walaupun, uang Dito hanya mampu membelikan aku satu kebaya ini. Tapi, uang yang ia miliki adalah hasil kerja kerasnya. Bukan dari pemberian orang tuanya. Dia beda denganmu Dre, yang tak kaya sejak lahir. Itulah alasanku memilih dirinya."

Mulutku mengatup rapat, tak lancang lagi berbicara. Seperti halnya saat ini, berjalan meninggalkan sepasang pengantin yang sedang berbahagia itu dalam diam. Hatiku memang berduka, tapi logikaku berkata berbeda.

Diana, aku berdoa semoga engkau selalu bahagia dengannya, walaupun aku masih berharap dirimulah yang jadi pendamping hidupku.

@@@

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun