Mohon tunggu...
Hartati Hasugian
Hartati Hasugian Mohon Tunggu... STT Ekumene Medan

Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Generasi Overthingking: Lelah Jadi Sempurna di Mata Dunia

4 Juli 2025   14:26 Diperbarui: 4 Juli 2025   14:26 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Seorang Wanita Yang Sedang Overthingking ( Sumber: Ilustrasi AI oleh ChatGPT (OpenAI) 

"Capek banget rasanya... padahal hari ini nggak ngapa-ngapain, cuma scrolling di atas kasur."
Kalimat ini mungkin terdengar sepele, tapi diam-diam menjadi napas hidup generasi kita hari ini.

Kita hidup di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa. Dunia berubah cepat, dan semua hal kini bisa diakses hanya dari layar kecil di genggaman tangan. Hidup terasa berpacu. Bukan hanya untuk bertahan, tapi juga untuk tampil mengesankan.
Pencapaian pribadi tak lagi menjadi ruang privat. Semua orang bisa tahu siapa yang lulus, siapa yang menikah, siapa yang baru pulang dari luar negeri cukup lewat satu unggahan.

Namun di balik foto penuh senyum dan caption penuh semangat, ada banyak jiwa yang sedang menyimpan luka. Ada yang berjuang tanpa suara, dan ada yang... hanya merasa capek.
Capek karena merasa tak cukup.
Capek karena terus membandingkan diri.
Capek karena harus terlihat baik-baik saja, meski hati sebenarnya berantakan.

Kita Lelah, Tapi Takut Mengakuinya

Media sosial mengajarkan kita untuk selalu terlihat bahagia.
Lingkungan kerja menuntut kita tampil percaya diri.
Keluarga berharap kita menjadi kebanggaan.

Tapi siapa yang benar-benar peduli, saat kita pulang ke kamar, merebahkan tubuh yang lelah, dan hanya bisa menatap langit-langit sambil bertanya:
"Aku ini sedang ke mana, sih? Kenapa hidupku rasanya stuck begini-begini saja?"

Selamat datang di generasi overthinking.
Generasi yang hidup di antara highlight story dan self-doubt diary.
Kita berjuang keras tapi diam-diam.
Kita capek tapi malu mengakuinya.

Overthinking Itu Diam-Diam Melelahkan

Mereka bilang kita generasi manja.
Terlalu lembek. Terlalu sensitif.
Padahal mereka tak tahu kita sedang berlari kencang, tapi di dalam kepala sendiri.

Kita berpikir terlalu jauh.
Takut gagal. Takut ditinggalkan. Takut tidak cukup.
Bahkan sebelum mencoba, kita sudah diserang ketakutan oleh skenario-skenario buruk yang belum tentu terjadi.
Dan parahnya kita sadar itu tidak sehat, tapi tetap sulit berhenti.

Sempurna Itu Ilusi, Tapi Kita Terjebak di Dalamnya

Kenapa kita terlalu keras pada diri sendiri?
Karena sejak kecil kita dijejali standar orang lain: nilai tinggi, wajah cerah, karier cemerlang, pasangan ideal, hidup mapan.
Seolah-olah kalau belum punya semua itu, maka kita belum berhasil.

Padahal hidup bukan soal memenuhi ekspektasi orang.
Kita tidak harus menjadi sempurna dulu untuk menjadi berharga.
Cukup jadi diri sendiri, dengan tulus dan jujur.
Tak perlu hidup untuk "ada apanya", cukuplah hidup "apa adanya".

Berdamai Itu Bukan Menyerah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun