"Capek banget rasanya... padahal hari ini nggak ngapa-ngapain, cuma scrolling di atas kasur."
Kalimat ini mungkin terdengar sepele, tapi diam-diam menjadi napas hidup generasi kita hari ini.
Kita hidup di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa. Dunia berubah cepat, dan semua hal kini bisa diakses hanya dari layar kecil di genggaman tangan. Hidup terasa berpacu. Bukan hanya untuk bertahan, tapi juga untuk tampil mengesankan.
Pencapaian pribadi tak lagi menjadi ruang privat. Semua orang bisa tahu siapa yang lulus, siapa yang menikah, siapa yang baru pulang dari luar negeri cukup lewat satu unggahan.
Namun di balik foto penuh senyum dan caption penuh semangat, ada banyak jiwa yang sedang menyimpan luka. Ada yang berjuang tanpa suara, dan ada yang... hanya merasa capek.
Capek karena merasa tak cukup.
Capek karena terus membandingkan diri.
Capek karena harus terlihat baik-baik saja, meski hati sebenarnya berantakan.
Kita Lelah, Tapi Takut Mengakuinya
Media sosial mengajarkan kita untuk selalu terlihat bahagia.
Lingkungan kerja menuntut kita tampil percaya diri.
Keluarga berharap kita menjadi kebanggaan.
Tapi siapa yang benar-benar peduli, saat kita pulang ke kamar, merebahkan tubuh yang lelah, dan hanya bisa menatap langit-langit sambil bertanya:
"Aku ini sedang ke mana, sih? Kenapa hidupku rasanya stuck begini-begini saja?"
Selamat datang di generasi overthinking.
Generasi yang hidup di antara highlight story dan self-doubt diary.
Kita berjuang keras tapi diam-diam.
Kita capek tapi malu mengakuinya.
Overthinking Itu Diam-Diam Melelahkan
Mereka bilang kita generasi manja.
Terlalu lembek. Terlalu sensitif.
Padahal mereka tak tahu kita sedang berlari kencang, tapi di dalam kepala sendiri.
Kita berpikir terlalu jauh.
Takut gagal. Takut ditinggalkan. Takut tidak cukup.
Bahkan sebelum mencoba, kita sudah diserang ketakutan oleh skenario-skenario buruk yang belum tentu terjadi.
Dan parahnya kita sadar itu tidak sehat, tapi tetap sulit berhenti.
Sempurna Itu Ilusi, Tapi Kita Terjebak di Dalamnya
Kenapa kita terlalu keras pada diri sendiri?
Karena sejak kecil kita dijejali standar orang lain: nilai tinggi, wajah cerah, karier cemerlang, pasangan ideal, hidup mapan.
Seolah-olah kalau belum punya semua itu, maka kita belum berhasil.
Padahal hidup bukan soal memenuhi ekspektasi orang.
Kita tidak harus menjadi sempurna dulu untuk menjadi berharga.
Cukup jadi diri sendiri, dengan tulus dan jujur.
Tak perlu hidup untuk "ada apanya", cukuplah hidup "apa adanya".