Mohon tunggu...
Har Sono
Har Sono Mohon Tunggu... -

hitam. dark. suka melamun.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

SUNSET AND SUNRISE (Album Keempat)

8 Januari 2011   11:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:49 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ini adalah lanjutan dari cerita Sunset and Sunrise, bagi yang belum baca tengok dulu yuukk

–> album pertama bagian 1: http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/03/sunset-dan-sunrise-sebuah-novel-album-1/

–> album pertama bagian 2: http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/04/sunset-with-sunrise-album-1-bagian-2/

–> album kedua: http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/07/sunset-with-sunrise-album-kedua-sebuah-novel/

-> album ketiga: http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/08/sunset-and-sunrise-album-ketiga/

Angkatanku dibagi dalam 4 kelas kecil, masing-masing kelas sekitar 30 hingga 40 orang mahasiswa. Tetapi ada beberapa mata kuliah yang memaksa kami untuk bergabung menjadi 2 kelas besar. Di sinilah pertemanan kami, para mahasiswa baru, dimulai. Ada yang sudah kenal, mungkin. Karena 1 daerah, satu sekolah, atau pernah kenal di komunitas mana. Tetapi sebagian besar tidak saling kenal. Biasanya perkenalan dimulai dari teman satu kelas. Tak banyak yang bisa dihafal di awal perkenalan. Seiring bergantinya waktu, hafalan itu mulai bertambah walaupun nanti di akhir-akhir tahun masih ada saja yang terbalik menyebut nama A dengan B, atau sebaliknya. Itu lumrah.

Kami adalah mahasiswa. Sifat ego mungkin tepat menggambarkan keadaan kami nanti. Kemandirian adalah tonggak segalanya. Siapa cepat, dialah yang nanti bakal cepat pula keluar dari kampus ini. Seperti kata Viru Sastrabudhi, si rektor dalam film 3 idiot. Hidup itu selalu diawali dengan perlombaan, siapa membunuh siapa. Dan kuliah ini adalah sebuah ajang perlombaan. Kami awalnya berlomba dan saling membunuh pesaing ketika akan masuk ke universitas. Ketika telah diterima, kami juga akan saling membunuh. Siapa yang bertahan dengan keuletannya, dialah yang nanti akan terlihat berhasil.

Tetapi, apakah dalam pertemanan ada prinsip ‘siapa membunuh siapa’?

Kami para mahasiswa baru mulai dijejali dengan fakta-fakta. Seperti pengertian bahwa sosialisasi adalah senjata utama dalam komunitas yang baru. Mendapatkan teman gampang-gampang susah. Jika dia adalah orang seperti Bari dan Aziz yang pintar dalam bergaul dengan sejuta kata yang muncul dari mulutnya ketika bercerita, mencari teman adalah hal yang mudah. Mereka, si Aziz dan Bari itu, suka sekali mengajak berkenalan. Saling bercerita tentang asal daerah, hobi, atau banyolan-banyolan murahan yang membuat mereka semakin cepat akrab dengan teman baru. Tetapi, orang seperti aku, yang lebih banyak diam dan menunggu, tentu awalnya akan menjadi pecundang di tengah-tengah komunitas anyar.

Selain fakta itu, kami juga dipaksa secaracepat untuk bisa memahami tentang sistem pengajaran di kuliah. Apa itu SKS, bagaimana cara mengisinya, bagaimana cara agar si SKS tidak membunuh kami secara perlahan, tentang cara mendapatkan materi, apa itu IP dan IPK, bagaimana syarat mengambil mata kuliah, dan tetek bengek lain yang menurut kami adalah hal-hal yang baru. SKS awalnya adalah hal tabu dalam otak pikiran kami. Tetapi nantinya, kami sadar dia adalah 1 dari beberapa nyawa yang ada di kampus ini.

# # #

Mereka adalah Ve, Dian, dan Cantika. Tiga gadis mahasiswi yang kukenal di awal perkuliahan.

Aku tak punya teman 1 pun dari SMA-ku yang sejurusan denganku. Mereka, teman-teman SMA-ku itu, kebanyakan mengambil program studi bahasa atau ekonomi, ada beberapa yang psikologi. Di teknik, kebanyakan anak laki-laki. Itupun tidak sejurusan denganku. Mereka lebih banyak di jurusan eletro atau arsitektur.

Sebenarnya aku sendiri masih bingung, mengapa aku memilih Teknik Industri. Teman-temanku sebagian besar memiliki tujuan ketika mereka memilih program studi. Mau jadi apa nanti ketika lulus dari Teknik Industri? Saat mendaftar kemarin, aku hanya melihat bahwa passing grade Teknik Industri no. 2 di universitas ini. Sangat mengagumkan untuk ukuran program studi yang baru berumur 10 tahun. Saat itu, aku masih mengambang. Apa yang akan dipelajari aku juga tak mengerti.

Di awal masuk kuliah, saat kelas Pengantar Teknik Industri, pak dosen yang merangkap menjadi ketua program studi, menggambarkan program studi Teknik Industri secara unik. Ada sebuah wadah yang berisi bola-bola program studi atau jurusan. Ada bola teknik elektro, bola teknik mesin, dan bola-bola lainnya. Bola-bola itu mengisi wadah yang diibaratkan sebagai sebuah universitas. Taukah di mana Teknik Industri berada? Teknik Industri adalah udaranya.

Ve, Dian, dan Cantika berasal dari daerah yang berbeda. Ve berasal dari Jakarta, Dian berasal dari Bogor, sedangkan Cantika sedaerah denganku, dari Yogyakarta. Tapi aku dan Cantika tidak saling kenal sedikitpun. Kami berbeda SMA, dia dari SMA 3 sedangkan aku dari SMA 1.

Kami berempat sering bermain bersama, ke kantin, makan siang, perpustakaan. Di kampus, ada semacam fenomena membentuk group-group pertemanan. Di awal memang kami sering jalan bersama, satu kelas. Tetapi seiring berjalanan waktu, kebersamaan itu mulai membentuk kelompok-kelompok kecil. Semacam soulmate dalam pertemanan.

Walaupun nanti tak jarang juga kami, satu kelas, bahkan satu angkatan, pergi bersama ke suatu tempat. Tetapi ‘soulmate pertemanan itu’ menjadi hal yang lebih intim dari arti kebersamaan itu sendiri. Nonton DVD bareng di kos, makan bareng, atau sekedar curhat-curhat gag jelas di kos atau rumah siapa. Tak hanya anak cewek, anak cowok pun begitu. Ini semacam sindrom mungkin, atau memang kita sebagai manusia memang membutuhkannya. Membutuhkan hal yang lebih intim, apalagi untuk urusan pertemanan. Siapa yang cocok dengan siapa, atau siapa yang nyambung dengan siapa. Tak ada yang menyangkalnya.

Dibalik itu semua, kebersamaan satu angkatan 2007 menjadi hal yang utama. Salah satu jalan mencapainya adalah adanya malam keakraban. Si Berry, ketua angkatan kami, menjadi pelopor adanya malam keakraban, atau kami sering menyebutnya makrab. Makrab itu dilaksanakan di Kaliurang, daerah yang menjadi satu dari sekian kenangan di album ini yang nantinya tak akan kami temui lagi.

# # #

Kaliurang terletak di kaki Gunung Merapi, dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau empat. Jika dari pusat kota, waktu tempuhnya sekitar 30 menit. Daerahnya sangat sejuk dengan ditumbuhi pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Tak hanya sebagai tempat wisata, Kaliurang menjadi tujuan penginapan yang nyaman. Selain hawanya yang sejuk, udara yang bersih, pemandangan di sana sangat bagus. Obyek wisata yang ditawarkan pun tak kalah, dari obyek wisata Gunung baik itu tracking camping maupun wisata jeep, ada juga wisata kuliner, sampai wisata menyusuri Kali Kuning.

Angkatan kami makrab di sana, di Kaliurang itu. Kami menyewa 1 hunian yang sengaja menyediakan tempat untuk menginap atau pertemuan.

Aku ikut, tak terkecuali Aziz, Bari, dan Landung. Awalnya Landung menolak untuk ikut dengan alasan ‘males’. Tetapi Bari dan Aziz berhasil membujuknya.

Inti dari makrab adalah keakraban. Di sana, kami menjadi satu. Dari 4 kelas kecil yang biasanya terpisah, bahkan kami akui setelah berjalan 3 bulan kuliah, kami belum banyak kenal satu sama lain. Makrab ini kami manfaatkan sebaik-baiknya. Saling berkenalan dengan yang lain.

Tapi tidak dengan Landung.

Manusia satu itu sepertinya memang tidak menyukai keramaian. Dia terlihat banyak diam, bahkan ketika si Aziz yang emang jago banyol beraksi di upacara pembukaan. Aziz mengelurkan banyolan-banyolan yang membuat semua orang terpingkal.

Tapi Landung tidak. Aku memperhatikannya, dia diam. Tak berekspresi. Mukanya datar, kurasa. Dia hanya mengelurkan senyum, tapi kecil sekali hingga hampir tak terlihat oleh siapapun.

Bahkan ketika acara nonton film bareng di aula, dia tak terlihat. Semua orang ada di aula itu, menikmati film horor pilihan Radit, salah satu temanku yang hobi banget nonton film. Kami berteriak-teriak menyaksikan hantu cewek yang menurutku sebenarnya tidak terlalu menyeramkan mukanya. Tetapi sound dan alur ceritanya membuatku sempat merinding juga. Apalagi lampu aula dimatikan. Alhasil yang tersisa hanya jeritan-jeritan konyol dari teman-teman yang diselingi dengan ocehan-ocehan tidak jelas.

Dan Landung tidak bersama kami.

“Ke mana Landung, Bar?” tanyaku di sela-sela film. Bari duduk di sampingku. Adegan di layar sedang mempertontonkan si cewek yang mencoba mencekik tokoh laki-laki. Beberapa anak cewek mulai menjerit histeris. Suaranya menggelegar.

“Apa?” tanya Bari, sepertinya dia tidak mendengar pertanyaanku.

“Landung ke mana?” ulangku.

“Oh, dia di kamar. Capek katanya.”

Di kamar? Saat suasana seperti ini?

“Kenapa nyariin dia?” tiba-tiba Bari bertanya kepadaku.

Aku menggeleng lemah. Tak ingin melanjutkan topik ini.

“Aku ke kamar mandi bentar ya,” ucapku pada Bari, juga pada Ve, Dian, dan Cantika yang juga duduk bersamaku. Mereka mengangguk.

“Mau kutemanin, Ren?” tanya Dian.

“Gag usah. Aku berani kok sendiri. He he he.” Aku menyeringai. Pandanganku sempat tertuju ke layar film. Sebenarnya serem juga kalo harus ke kamar mandi sendirian. Tapi aku memberanikan diri, toh tujuanku tidak ke kamar mandi. Tapi ke kamar Landung.

Landung sekamar dengan Bari dan Aziz. Letak kamarnya di paling ujung, berdekatan dengan pintu keluar ke arah Mushola. Kuketuk pintu kamarnya perlahan. Pintu kamar terbuka dan Landung berdiri di sana.

“Ada apa?” tanya dia.

“Kamu sakit?” tebakku, mukanya sangat pucat.

“Tidak. Cuma kecapekan,” jawabnya. Dia lalu diam. Kembali seperti Landung saat pertama, pikirku.

“Mau kutemani?” tanyaku. Kuberanikan diri untuk berkata seperti itu.

Landung menggeleng lemah.

“Aku tidur saja,” ucapnya.

Aku mengangguk kecil, lalu berlalu.

# # #

Entah mengapa, aku merasa makrab ini dimanfaatkan benar-benar oleh mereka yang pendekatan. Maksudku, ada beberapa orang yang kurasa mulai mendekati seseorang. Sangat lumrah sepertinya. Contohnya Aziz. Berulang kali dia mendekatiku untuk bertanya tentang Cantika, si gadis Jogja yang sangat kalem itu.

“Ayolah Ren. Bantuin sodaramu ini. Sampaikan salamku sama dia,” pinta Aziz padaku. Dia merengek saat aku sedang duduk sendiri di halaman depan penginapan itu sembari menikmati segelas kopi susu hangat.

“Iya nanti. Slow dong. Nafsu amat.” Aziz sudah berulang kali menyampaikan itu. Ya, setidaknya untuk 3 hari belakangan ini. Dia terang-terangan bilang ke aku kalo suka ama Cantika.

“Serius lho disampaikan.”

“Iya, iya.”

“Nanti kalo kamu berhasil menjodohkan aku ama dia, kamu akan aku jodohkan ama Landung. Gimana?” Aziz mengerjap-ngerjapkan matanya. Menggoda.

“Gag perlu,” ucapku.

“Loh kenapa? Bukankah kamu suka sama dia?”

Aku tak menjawab pertanyaan Aziz. Aku tak perlu menjawabnya.

Tak hanya Aziz yang berlaku aneh saat makrab ini. Pun dengan beberapa temanku. Ada yang sudah terang-terangan jalan berdua. Ke mana-mana berdua. Ada juga yang masih malu-malu hingga menjadi ejekan teman-teman yang lain.

“Cie….ihii, Febta ama Arya neh yaa…cieeee…”

Aku cuma tersenyum mendengar itu. Senyum yang kupaksakan. Karena sampai saat ini, aku tidak melihat Landung bersama kami. Landung seperti menghindar. Entah, menghindari apa. Tapi, sampai acara nonton bareng selesai, makan malam, hingga acara api unggun dimulai, dia tidak muncul. Dan aku gelisah karenanya.

Acara api unggun dilaksanakan tengah malam di suatu tanah lapang. Kami membentuk lingkaran besar. Di tengah-tengah lingkaran itu, menyala api unggun besar. Acara dimulai dengan memperkenalkan diri masing-masing anak. Kami saling bertukar info tentang siapa, dari mana, hobi, hingga perasaannya menjadi warga Teknik Industri.

Seperti acara-acara api unggun pada umumnya, ada sesi unjuk bangkat. Di sinilah anak-anak cowok biasanya beraksi mencari perhatian anak cewek, terutama mereka yang memiliki gebetan. Bari menjadi salah satu penampil yang cukup memukau. Dia membawakan lagu Kita-nya Sheila on 7 dengan aransemen dia sendiri. Penampilannya cukup membuat beberapa anak cewek berbisik-bisik.

Di sinilah untuk pertama kalinya setelah pertemuan terakhir dengan Landung, aku kembali melihat anak itu. Dia memakai jaket tebal warna hijau. Dia datang dan langsung duduk di samping Aziz.

Aku menatapnya dan mata kami beradu pandang di udara. Dia sempat melihatku sekilas, lalu membuang muka. Apa sebenarnya yang dia pikirkan tentangku? Seperti ada satu rahasia yang dia simpan rapat-rapat. Tapi apa?

Lamunanku buyar saat tiba-tiba sebuah kembang api meluncur ke langit. Kembang api itu pecah di angkasa menjadi bola-bola warna-warni di udara. Suaranya sangat menggelegar. Beberapa kali terdengar seperti senapan yang melepaskan peluru.

Saat kembang api itu tengah beraksi dan mata kami takjub memandangnya, kami tak menyadari orang-orang mulai datang ke lapangan itu. Orang-orang itu bukan mahasiswa, meraka adalah masyarakat setempat.

# # #

“Ada apa sih?” tanyaku pada Lala, salah satu panitia makrab itu.

“Cuma masalah kecil saja. Sudah selesai kok,” jawabnya sambil tersenyum.

Urasa beberapa orang juga menyimpan pertanyaan sepertiku. Ada apa sebenarnya? Di tengah-tengah pesta kembang api itu, dan kebersamaan kami, saat Landung baru saja datang dan melihatku, tiba-tiba orang-orang berdatangan. Berry, si ketua angkatan, ditarik paksa.

Teman-temanku mulai meringsek takut, terutama anak cewek. Kami lalu dibubarkan, disuruh kembali ke penginapan. Kami dibantu oleh Nabil, si koordinator acara. Tapi dia tidak memberi keterangan apa-apa. Kami hanya disuruh diam. Jam 1 dini hari, panitia mulai kembali ke penginapan tanpa memberi kejelasan apa-apa.

Kabar-kabar yang bermunculan menyebutkan bahwa kembang api yang dinyalakan telah mengganggu masyarakat sekitar. Panitia dituding tidak memiliki ijin. Tapi panitia mengelak. Mereka telah mengantongi ijin kepolisian setempat. Terjadi perseteruan di antara panitia dan masyarakat.

“Semua sudah selesai. Kalian tidak perlu cepat. Hanya masalah teknis kecil.” Berry menenangkan kami.

Teman-teman yang lain mulai masuk ke kamar masing-masing saat dipastikan oleh Berry bahwa keadaan baik-baik saja. Beberapa panita cuma terlihat berdiskusi sebentar. Mengangguk-angguk kecil.

Ada juga yang masih ngobrol di aula atau di halaman depan. Mereka tampak tertawa terbahak-bahak.

Aku duduk bersama Bari di depan aula. Di tangan kami ada segelas kopi hangat.

“Ada apa sebenarnya tadi?” tanyaku.

“Masalah ijin. Ada miss antara masyarakat setempat dan pihak kepolisian, tapi semua sudah selesai. Kamu takut ya?” dia bertanya padaku.

Kuserupu kopi pekat itu. Kehangatan mulai menjalari tubuhku yang sedikit beku. Hawa malam ini benar-benar dingin menyengat hingga ke tulang. Saat berbicara ada kepulan asap dingin yang keluar dari mulut-mulut.

“Bukan takut. Hanya khawatir ada apa-apa,” jawabku, tak berbohong.

“Sepertinya kasus malam ini akan menarik untuk kujadikan bahan cerita,” kata Bari.

“Bahan cerita?” tanyaku, agak bingung dengan ucapannya.

“Mungkin novel atau cerpen,” jawabnya pendek.

“Kamu suka nulis?”

“Kamu baru tau?” nada suara dia agak meninggi.

“Kita memiliki hobi yang sama, Bar. Aku juga suka menulis. Juga suka membaca novel atau cerita-cerita apapun.”

“Oh ya, ada berapa novel yang kamu punya?”

“Sedikit. Cuma 10 kayaknya. Aku lebih sering pinjam ke rental.”

“Hem,,,sepertinya kamu harus pergi ke kosku. Aku ada banyak novel. Sekitar 200-an. Setengahnya ada di kos. Setengahnya lagi ada di rumah. Kau suka genre apa? Pop? Detektif? Atau apa? Aku ada semua.” Bari tampak senang membanggakan koleksinya.

“Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang suka membaca novel.”

“Apa perlu kutulis di jidat?” dia lagi-lagi tertawa.

“Ya, masalahnya aku tidak pernah melihatmu membaca novel. Waktu tinggal di rumahku juga tak pernah.”

“Belum ada novel yang menarik. Lagian saat itu masih sibuk OSPEK. Tak ada waktu untuk membaca.”

“Baiklah komandan, sewaktu-waktu aku akan datang ke kosmu.”

Kami menyeruput kopi bersamaan. Lalu tertawa bersamaan. Di tengah obrolan kami itu, Landung datang membawa kopi juga bersama gitar kesayangannya. Mukanya sedikit lebih cerah.

“Baru kelihatan kamu Ndung?” tanya Bari.

“Tidur tadi. He he he,” jawab Landung.

“Ah, kebiasaan sejak SMA. Selalu tidur disaat kumpul-kumpul seperti ini. Padahal tadi kamu bisa menunjukkan bakat gitarmu untuk menarik perhatian cewek-cewek saat acara api unggun.”

“Maksudmu, seperti kamu tadi?” Landung tertawa, sedikit mengejek.

“Jadi kamu melihat penampilanku tadi? Ah….malu lahhhhhh.” Bari meninju lengan Landung. “Tau gitu, tadi kupaksa kamu ikut gabung. Kita duet maut. Seperti waktu SMA dulu. Kita kan pasangan sejati. Ya gak, ya gak?”

“Ah, sifat homomu masih saja kamu bawa-bawa. Gak usah bawa-bawa aku kalo gitu.” Tawa Landung kembali meledak melihat muka Bari yang cemberut.

“Kau yang homo taek…”

Keduanya lalu tertawa bersama. Aku yang duduk di antara mereka hanya ikut tersenyum kecil melihat candaan-candaan itu.

“Aku mau tampil sekarang saja di hadapanmu dan Erena.” Landung melihatku.

“Mau nyanyi?” tanyaku.

Landung mengangguk sambil tersenyum manis. Benar-benar Landung yang berbeda. Mengapa dia secepat itu berubah? Kadang bisa manis, kadang cuek, kadang menyebalkan.

Jreeeenngggggg….Landung memetik gitarnya.

“Mau lagu apa?” tanya dia. “Tapi jangan yang romantis. Aku tak bisa.” Dia terkekeh.

Landung kembali memetik gitarnya. Piawai sekali dia memainkan jemari-jemarinya di atas senar. Perpindahan jarinya dari kunci yang satu ke yang lain sangat lentur. Aku belum pernah melihat cowok memainkan gitar sepiawai dia.

“Jangan kaget melihat permainan Landung, Ren. Dia itu memang berjiwa musisi,” ujar Bari seperti melihat keherananku.

Aku hanya memonyongkan bibir menanggapi ucapan Bari.

Dan lagu Sempurna-nya Andra and the Backbone yang lagi tenar, mengalun pelan dari gitar Landung. Suara Landung ternyata sangat renyah, enak di dengar. Dia meyanyi hingga selesai. Beberapa orang tampak kagum melihat penampilannya. Sangat sempurna. Kebersamaan dengan Landung malam ini benar-benar sempurna. Apakah ini memang benar-benar sempurna?

Kurasa tidak.

Saat pagi harinya, ketika satu angkatan akan menyusuri Kali Kuning untuk outbond, Landung berubah menjadi sosok yang kembali dingin. Sangat dingin kurasa. Mukanya tampak begitu tanpa berekpresi. Tanpa senyum. Tatapannya tajam. Kadang ke arahku, kadang ke orang lain. Kusadari itu saat kami berpapasan. Atau ketika apel pagi sebelum berangkat menyursi Kali Kuning.

Aku dan dia tidak sekelompok.

Yah, satu angkatan kami dibagi dalam beberapa kelompok. Kelompok-kelompok itu bertugas untuk mengumpulkan bendera-bendera yang ada di setiap game.

Pohon pinus yang menjulang tinggi menjadi saksi perjalanan kami. Perdu-perdu yang teduh, juga pohon bambu yang ada di sana melihat kehebohan kami memainkan game. Kami beradu ketangkasan, beradu kecerdikan, dan taktik. Di satu sesi, kami dipaksa membuat yel-yel dengan kreatifitas kami. Ada satu penampilan yang heboh. Sangat heboh. Penampilan itu muncul dari kelompok Fandy, teman kelas A. Dia, si Fandy itu, dan Tya, temanku yang lain dari kelas C, mengikuti gaya Agnes Monica. Lengkap dengan gaya jogetnya yang memantul-mantulkan kaki ke tanah. Semua orang tertawa, juga bertepuk tangan. Sangat atraktif dan menghibur.

Permainan yang tak kalah seru adalah adu meletuskan balon lawan. Satu kelompok terdiri dari 7 atau 8 orang. Kami diikat memanjang menggunakan tali raffia. Pemain terdepan memegang tusuk gigi, sementara pemain paling belakang diikat balon. Tugas pemain depan adalah meletuskan balon lawan.

Aku melawan kelompok Landung. Saat itu, Landung sudah mulai dingin. Dia seolah-olah tak mengenalku. Dia tertawa dengan yang lain, tetapi saat melihatku ada gurat keanehan yang terpancar dari mukanya.

Aku adalah pemain paling belakang. Tugasku adalah melindungi balon kelompokku. Sementara Landung adalah pemain terdepan, dia bertugas meletuskan balon kelompokku. Sungguh saat itu aku tak bisa berkonsentrasi. Bayangan Landung, mukanya, guratan di wajahnya, pandangan tajamnya, semuanya membuyarkan konsentrasiku.

Priiiitttttttttt….peluit dibunyikan.

Kelompokku berusaha memecahkan balon kelompok Landung, namun juga berusaha melindungiku. Aku terseret ke kanan, ke kiri. Badanku oleng. Jerit-jerit bahagia teman-temanku semakin memperburuk konsentrasiku. Landung berubah menjadi harimau yang akan menerkamku. Gerakannya gesit. Berulang kali dia hampir berhasil menyentuh balonku.

Aku takut. Sangat takut. Matanya sangat tajam melihatku. Ada apa sebenarnya? Mengapa dia berubah menjadi sangar seperti itu.

Kelompokku masih melindungiku. Permainan masih berlanjut. Keringat telah mengucur dari tubuh kami. T-shirt kami telah basah.

Landung kembali melihatku, seperti ingin memangsa. Sangat menyeramkan sekali tatapannya. Dia acuh, dia cuek, secuek tadi pagi. Kurasa keanehan ini terjadi sejak subuh tadi. Saat sunrise mulai tampak di ufuk timur. Saat semburat sinar emasnya mulai mewarnai bumi Kaliurang dari sela-sela pohon. Aku bertemu dengan Landung.

Tadi, aku memang tidak sendiri. Aku berdua dengan Gerry. Kami ngobrol sehabis olah raga pagi. Kami berdua tampak bercanda. Gerry memang mengajakku ngobrol. Dia memperkenalkan diri, meminta ijin untuk saling bercerita. Dan Landung melihat kami. Saat itu, dia tak menyapaku. Sedikitpun. Dia hanya lewat di depanku. Lewat saja, tanpa menyapa.

Sejak peristiwa itu, dia bersikap dingin. Sangat dingin. Hingga permainan ini berlangsung. Dan aku menjadi lawannya, mangsanya.

DUERRRRRRRRR….balon yang terikat pinggangku pecah. Landung berhasil memecahkannya.

# # #

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun