Sejumlah desakan muncul agar sidang MKD terbuka dalam menelusuri dugaan pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Agar jangan terulang kasus pertemuan petinggi DPR dengan Donald Trump yang disidangkan MKD secara diam-diam sehingga Ketua DPR Setya Novanto dan wakilnya Fadli Zon hanya diberi sanksi ringan berupa teguran. Maka jika sidang MKD atas kasus “Papa Minta Saham” dilakukan tertutup dikhawatirkan akan merusak citra DPR.
Oleh karena itu, Sekretaris Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, "Golkar mengingatkan MKD enggak boleh rapat tertutup, harus terbuka agar publik tahu bersalah enggak. Kita berharap tidak bersalah sehingga masyarakat memaafkan." sedangkan Ketua MPR Zulkifli Hasan menegaskan, “Melalui sidang MKD yang terbuka maka persoalan menjadi transparan." Bahkan Politisi Gerindra, Desmon J Mahesa, dengan lantang berkata, “Ujian terbesarnya adalah bisa nggak MKD dipercaya masyarakat? Menurut saya lebih terhormat Novanto mundur karena sudah mempermalukan DPR.”
Apa yang dikatakan Pak Bambang, Pak Zulkifli dan Pak Desmon itu, hemat saya, menunjukkan sikap kenegarawanan yang hebat—terutama dalam hal menjaga marwah dan martabat serta citra DPR sebagai lembaga tinggi Negara yang terhormat. Hal itu membuat saya sungguh merasa bangga dan terharu.
Di sisi lain, saat diskusi bertajuk "Freeport Bikin Repot" di Jakarta, Sabtu (21/11/2015), Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta agar pihak-pihak yang menuding Ketua DPR Setya Novanto meminta saham Freeport untuk membuktikannya. Sebab, menurutnya, pada transkrip percakapan yang beredar di publik, tidak ada pernyataan Novanto yang minta hal tersebut. "Yang katanya 'Papa Minta Saham' itu mana kalimatnya? Baca dong transkripnya, enggak ada itu," katanya.
Bahkan Fadli Zon menduga Ketua DPR Setya Novanto telah dijebak dalam kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden. Sebab, "Kesimpulan kita, sudah banyak jebakan atau dalam dunia intelijen ada sting operation. Presdir Freeport itu kan mantan intel juga. Sting information yang ditujukan kepada Novanto, menurut dia, merupakan bagian dari manuver untuk memperpanjang kontrak Freeport sejak dini," tegasnya.
Pernyataan Pak Fadli tersebut di atas, hemat saya, sungguh mencerminkan intelektualitas tinggi dan sikap kenegarawan yang hebat pula—utamanya mengajari kita agar teliti dalam membaca transkrip serta memiliki kemampuan analisis yang komprehensif dalam memahami persoalan “Papa Minta Saham”. Tentu saja itu juga membuat saya bangga dan terharu--bahkan mengingatkan saya pada peristiwa penting tatkala Pak Fadli mendatangi KPK guna menyerahkan topi kampanye yang dihadiahkan Donald Trump kepadanya. Bukankah itu menunjukkan integritas, kejujuran dan konsistensi Pak Fadli dalam hal menolak gratifikasi. Bukankah untuk mendapatkan topi kampanye Trump itu, bagi orang Indonesia, bukan perkara mudah? Setidaknya harus jadi petinggi DPR dan yang oleh Trump disebut, “Orang paling berkuasa di Indonesia.”
Akan halnya Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie menyatakan, "Kami kemarin mendengarkan penjelasan dari Pak Novanto tentang kejadian yang sebenarnya. Dan kita dari KMP merasa dia tidak bersalah."
Meskipun itu tidak terlalu mencerminkan sikap kenegarawanan yang hebat, akan tetapi perlu diingat bahwa Pak Abu adalah boss sejumlah perusahaan multinasional dan juga boss partai politik terbesar kedua di Indonesia. Lalu apakah saya harus tidak percaya kata pepatah bahwa “boss tidak pernah salah”?
Alhasil, apakah kasus “Papa Minta Saham” Setya Novanto atau sidang tertutup MKD akan mempermalukan dan merusak citra DPR? Menurut saya: TIDAK! Apakah benar atau tidak benar Setya Novanto mencatut nama Jokowi-JK untuk minta saham Freeport, apakah sidang MKD terbuka atau tertutup, maka Setya Novanto dan MKD jelas tidak mempermalukan dan tidak merusak citra DPR!
Sebabnya sederhana saja: bagaimana mungkin seseorang atau sebuah badan bisa merusak sesuatu yang sudah rusak, bisa mempermalukan sesuatu yang sudah memalukan? ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI