Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kembali ke Media Tradisional untuk Mencerdaskan Generasi

16 September 2023   16:24 Diperbarui: 27 September 2023   10:19 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GandhiTechnoWeb.Com

Konversi besar-besaran dari media tradisional format cetak menjadi media sosial dan digital memang sangat mempengaruhi segala bidang. Salah satu yang paling buruk terkena dampaknya adalah industri hiburan, khususnya di Indonesia.

Tahun-tahun sebelum media sosial dan media digital belum mendominasi, media tradisional masih memegang teguh marwahnya dalam menurunkan berita yang bisa dipertanggungjawabkan. Narasumber benar-benar diwawancara secara langsung, dimana segala pertanyaan dan jawaban direkam dengan recording tape sebagai bahan crosscheck jika kelak ada salah satu pihak merasa tidak memberi jawaban atau pernyataan seperti yang diberitakan.

Dan sebelum dicetak atau ditayangkan, materi artikel atau program ini masih harus melalui beberapa lapis sidang redaksi untuk menguji kelayakan menjadi sebuah berita atau acara, karena menyangkut nama baik dan reputasi media. Bahkan tak jarang judul dan isi artikel atau narasi acara menggunakan bahasa sastra sehingga setiap kalimat terasa indah dibaca, mudah dipahami. Mengasah sensifitas literasi, serta mencerdaskan pembaca/pemirsa.

Setelah media cetak dan media sosial merajalela, substansi ini seperti hilang begitu saja. Media digital seperti berlomba-lemba menurunkan berita dengan judul bombastis yang sering sekali malah tidak mewakili isi berita. Hanya sekedar ingin memprovokasi atau memancing pembaca untuk mengklik tautan artikel yang memang sengaja dirancang untuk menghasilkan benefit bagi media. Semakin provokatif judul berita, semakin menggila pembaca meng-klik tautan artikel, maka semakin mendatang keuntungan bagi media penyedia berita digital. Sistem ini dikenal dengan istiah click bait.

Terkadang esensi tidak lagi dipikirkan hanya demi keuntungan. Toh media digital sifatnya instan, bisa dinaikkan dan diturunkan kapan dan dimana saja sesuai kebutuhan. Ketika berita yang ditayangkan ternyata hoax atau tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, editor atau redaktur tinggal menghapusnya saja, maka pembaca tidak bisa lagi mengaksesnya. Sedemikian praktis dan sederhana, sehingga tanggung jawab akan sebuah pekerjaan atau karya dalam bentuk artikel dianggap sebagai sesuatu yang bisa diabaikan.

Berbeda dengan media tradional yang sudah distribusi atau penayangannya sudah sampai ke berbagai pelosok wilayah, akan sangat susah menghapus, menyunting atau menangguhkan jika ada yang hendak dihilangkan, direvisi atau diganti.

Media sosial juga kurang lebih mengalami kondisi yang sama, bahkan lebih parah. Media sosial seperti Facebook, Tiktok dan Instagram Live/Reel/Story membuat semua orang bisa menjadi selebriti di lingkaran sosialnya masing-masing tanpa filter, yang sebarannya bisa melebar dari yang awalnya di lingkaran kecamatan, kota, pulau, negara dan hingga sampai antar negara.

Banyak pengguna media sosial seperti mengalami gegar tegnologi yang membuat lupa daratan. Yang tadinya kurang mendapat perhatian di dunia nyata, sekarang sudah memiliki wadah untuk mencari perhatian dari dunia luar yang lebih luas. Tidak perlu bakat atau keahlian, yang penting berani malu. Karena yang dicari adalah ketenaran dan perhatian, bukan apresiasi.

Itu sebabnya kasus ujaran kebencian dan penistaan hanya bermuara dari media sosial dan media digital, karena memang sifatnya subjektif, hanya berdasarkan pemikiran dan penilaian pribadi. Pribadi yang tidak mewakili kelompok tertentu, tetapi efeknya bisa membuat gonjang-ganjing satu planet. Dan karena penyampaiannya juga tidak di depan publik atau forum khusus yang butuh mental dan keberanian untuk menyampaikan, melainkan hanya dari ruang pribadi sehingga merasa bebas menyampaikan apa saja tanpa kontrol.

Di media tradisional konten sejenis itu tidak akan lolos karena harus melalui beberapa sensor dan perdebatan  di sidang redaksi untuk mempertimbangkan kelayakan dan efeknya terhadap pembaca dan media itu sendiri.

Mentalitas gegar tegnologi ini tidak hanya menyerang warga biasa saja, tetapi juga selebriti. Selebriti yang tidak memiliki keahlian atau bakat, tetapi berhasil menjadi selebriti yang menjadi terkenal karena dihujat satu kelompok masyarakat. Seperti ada prinsip yang dipegang teguh, yaitu: tidak apa-apa terlihat bodoh, yang penting viral dan terkenal.

Beberapa selebriti hasil dari mentalitas ini pun kini mendominasi industri hiburan Indonesia. Hanya dengan berbekal setor tampang di media sosial pribadi masing, melakukan aktivitas konyol atau memperbincangkan hal-hal bodoh, toh mereka punya penonton tersendiri. Karena tidak bisa diingkari bahwa segala hal (baik yang berkualitas, maupun yang tidak berkualitas) selalu ada pasarnya masing-masing. Bahkan market hal-hal yang tidak berkualitas ini tak jarang justru jauh lebih besar. Itu sebabnya konten-konten yang viral dari Indonesia kebanyakan materi yang tidak ada nilainya. Hanya sebatas mencari perhatian, lalu kemudian terlupakan tanpa menyisakan kesan.

Contohnya, seperti perseteruan dua selebriti perempuan yang tidak pernah jelas ujung pangkalnya. Pertikaian yang hanya sebatas balas-balasan komentar dari media sosial masing-masing, tetapi tidak punya nyali untuk menyelesaikannya dengan cara bertatap muka. Menjadikan diri masing-masing seperti layaknya dagelan konyol untuk tontonan warga yang butuh hiburan dalam bentuk keributan.

Atau selebriti transeksual dari sejak kemunculannya sudah memposisikan diri sebagai badut tanpa ciri khas wig kribo, busan gembung dan hidung tomat: eksis hanya untuk menjadi bahan tertawaan. Si selebriti menjadi terkenal karena bolak-balik operasi plastik dan berhalusinasi merasa memiliki rahim dan sel telur.

Mirisnya, media digital memberi panggung kepada selebriti-selebriti tanpa esensi ini. Segala tindak tanduk mereka sering dijadikan menjadi judul berita dengan muatan tulisan yang sangat jauh dari upaya mencerdaskan pembaca.

Media digital juga kerap menurunkan berita dari kalimat pendek seorang selebriti, atau spekulasi berita dari konten berupa foto atau video yang diunggah si selebriti. Menafsirkan sendiri arah kalimat atau pesan yang tersirat dari sebuah foto atau video dengan ulasan panjang lebar tanpa klarifikasi dari si selebriti. Pembaca dibiarkan menghakimi berdasarkan spekulasi dari artikel yang ditayangkan. Toh nanti kalau selebriti yang bersangkutan mengajukan keberatan atas artikel tersebut, artikel yang sudah tayang bisa langsung dihapus, tanpa memikirkan bahwa artikel yang sudah terlanjur tayang sudah keburu tertanam di pikiran pembaca dan dihakimi di media sosial masing-masing. Yang dirugikan jelas si selebriti, sementara media digital menangguk keuntungan.

Media tradisional seperti harian Kompas atau Kompas TV jelas tidak pernah menulis artikel-artikel remeh dengan narasumber selebriti seperti Lucinta Luna atau Bunda Corla di rubrik Nama & Peristiwa. Atau menayangkan rekaman gambar dan video perseteruan Dewi Perssik dengan Nikita Mirzani di Kompas TV. Tetapi ketika berada di ranah media format digital, bahkan media sekaliber Kompas.Com pun sama seperti media sosial & media digital lainnya.

Media sosial dan media digital boleh saja menggilas media cetak. Tetapi selama masih ada kebutuhan untuk mencerdaskan diri, generasi dan bangsa, media tradisional adalah tetap pilihan yang bijaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun