Benar adanya yang ditulis Deelestari dan Sudjiwo Tedjo pada testimoni buku "Antologi #FatwaRindu: Cinta 1001 Rindu" yang dianggit Candra Malik: keduanya seperti mengingatkan bahwa membaca Fatwa Rindu adalah cara terbaik untuk (sekadar) berhenti sejenak. Ya, berhenti dari segala yang kadung ramai di sekitar.
Candra Malik, seperti yang kita kenal, ialah satu dari sekian banyak (yang mengaku dirinya) Sufi di Indonesia. Dan lewat buku Fatwa Rindu, kita akan semakin kenal seperti apa laku Sufi yang sebenarnya. Mengajak untuk terus cinta dan rindu pada yang ada, juga yang tiada (gaib).
105.
Aitmataku membasahi masa lalu,Â
berlinang mengingat tangismu.Â
Mencintaimu dengan segenap penyesalan,
aku mengharapkanmu justru setelah kehilangan.
Sebagaimana Joko Pinurbo pernah membuat buku puisi dari kumpulan cuitannya di Twitter "Haduh, Aku Sudah di-Follow", buku yang dianggit Candra Malik ini pun demikian. Ada 1001 cuitannya yang dikumpulkan dan akhirnya dibukukan.
Tapi, lagi-lagi bukan sekadar menghimpun semua cuitannya, Candra Malik menegaskan laku hidup manusia pada era kiwari: pada hakikatnya, manusia memang selalu merasa (ke)sepi(an) dengan caranya masing-masing.
Barangkali buku #FatwaRindu memang perlu dikaji lebih dalam lagi. Misalnya, oleh mahasiswa-mahasiswa Komunikasi untuk mata kuliah "Perkembangan Teknologi Komunikasi". Melihat bagaimana kebiasaan manusia ketika dihadapkan pada kesibukkan dan gadget di waktu yang bersamaan? Atau, tingkat spiritualitas manusia di tengah meluapnya arus informasi di media sosial? Sampai pada titik ini, saya jadi ingat sebuah fiksimini yang dibuat @NafriYrrah: DOA TAK TERKABUL -- Karena terbatas 140 karakter, aku lupa menulis 'Amin'.
Kembali pada testimoni Deelestari dan Sudjiwo Tedjo tadi, membaca buku #FatwaRindu adalah pemberhentian. Selalu, apalagi di Twitter, kesepian akan semakin kentara kita lihat. Pada kasus ini jomblo tidak termasuk hitungan. Sebab, mereka memang penghuni setia linimasa Twitter yang terus menerus suaranya kita dengar mengais iba. Namun, pemberhentian seperti apa yang dimaksud? Akan saya kutip dua fatwa:
139.
Kata-kata apa yang perlu,
untuk cinta yang merindu?Â
Kata-kata apa yang penting,Â
untuk kita yang merasa asing?
557.
Haruskah kukatakan
bahwa kau cintaku,Â
bahwa kau rinduku?
Yang kemudian saya bayangkan adalah dua fatwa itu terbaca di linimasa Twitter. Tentu ketika kita sedang berada di antara keramaian, atau mengerjakan deadline pekerjaan, atau apalah. Sesaat pikiran kita akan terpilah menjadi beberapa fragmen. Memisahkan antara kerinduan dan kenangan; mana yang kita anggap penting ternyata adalah sesuatu yang sebenarnya asing; perihal cinta yang perlu dibuktian atau dinyatakan. Karena itulah saya sepakat, bahwa kini kita merasa sepi dengan caranya masing-masing.