Tentang perilaku orang-orang menggunakan urinoir, misalnya. Dalam satu set itu terasa sekali urutannya yang berantakan. Antara set-up dan punchline seperti memisahkan diri dengan premis awalnya.
Begitu juga dengan materinya yang membahas tatoo. Sebagai penonton, aku tidak mendapat apapun jawaban atas keresahan tersebut. Mungkin karena urutannya pun berantakan: dari alasan bila punya tatoo sendiri hingga memberi kebebasan anaknya kalau nanti ingin memiliki tatoo.
Tapi dari segelintir materi baru tersebut, ada yang kentara dan berbeda, yaitu tentang bodohnya pengguna Facebook. Mungkin hanya materi ini yang, menurutku, berhasil. Tidak hanya lucu, tapi Ridwan Remin sepertinya memperlakukan set itu berbeda dengan bit lainnya.
Dulu, seingatku, Jui Purwoto pernah mengingatkan kepada komika-komika Bogor kalau stand-up comedy itu terbagi atas 2 hal: materi dan delivery.
Seorang komika bisa saja membuat materi bagus, tapi kalau delivery buruk, maka tidak akan lucu juga. Begitu juga sebaliknya. Keduamya penting, tapi menurut Jui karena komika itu penampil, maka delivery memiliki porsi yang banyak. Prosentasenya: 90 persen delivery, 10 persen materi.
Kembali pada penampilan Ridwan Remin atas materinya tentang pengguna Facebook, rasa-rasanya ia memforsir lebih dari 90 persen. Sebab memang biasa, tapi ia bisa membawakannya luar biasa.
Setelah tampil, Ridwan Remin bahkan mengatakan ketika membawakan materi tersebut ia seperti kerasukan sesuatu saat di panggung. Entah benar atau tidak, yang pasti memang seperti itulah mestinya materi sebuah pertunjukan stand-up special dibawakan.