Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Grup Whatsapp Gelap yang Mengguncang Kota Kupang dan 8 SMP yang Terpapar Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik

10 Oktober 2025   11:06 Diperbarui: 10 Oktober 2025   11:06 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu, ruang kerja Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Kupang tampak lengang. Di balik tumpukan berkas laporan dan peta kasus, dr. Marciana Halek berbicara dengan suara tenang namun tegas.
"Delapan SMP di Kota Kupang sudah terpapar kekerasan seksual berbasis elektronik," ujarnya pelan. Kalimat itu sederhana, tetapi seperti petir di siang bolong yang mengguncang kesadaran siapa pun yang mendengarnya.

Kasus ini bukan sekadar perilaku menyimpang biasa, tetapi cerminan perubahan zaman yang tak diimbangi dengan literasi digital dan pengawasan yang memadai.
Semuanya berawal dari satu laporan kecil, seorang murid laki-laki yang menunjukkan bagian tubuhnya kepada teman perempuan saat berganti pakaian di sekolah. Peristiwa itu mendorong pihak sekolah melapor ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Dari penyelidikan itulah, tabir besar mulai tersingkap.

Petugas menemukan sebuah grup WhatsApp dengan nama polos namun berisi konten yang mengejutkan: "Grup SMP Se-Kota Kupang."
Di dalamnya, ratusan siswa dari berbagai sekolah bergabung, saling berbagi gambar, stiker, dan kata-kata vulgar. Grup itu bahkan sudah kelebihan kapasitas anggota. Lebih dari sekadar obrolan iseng, muncul grup-grup kecil turunan dengan percakapan yang lebih berani, intens, dan mengarah ke praktik seksual berbasis elektronik.

Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian interaksi itu berlanjut di dunia nyata dimana anak-anak yang semula hanya bercanda daring mulai melakukan pertemuan fisik dan bahkan praktik prostitusi antar-anak.
Salah satu pelaku, sebut saja M, menjadi perantara. Ia memperdagangkan teman-temannya dengan keuntungan Rp50--100 ribu per transaksi. Harga "layanan" mereka mencapai Rp500 ribu. Kasus ini pun bergulir ke pengadilan, dan M dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

"Dari 25 anak yang kami dampingi, 15 di antaranya kini berada di rumah perlindungan anak," ungkap dr. Marciana. "Mereka butuh pemulihan fisik dan psikis yang tidak sebentar."

Temuan DP3A menunjukkan bahwa mayoritas anak yang terlibat bukan berasal dari keluarga miskin. Motivasi mereka bukan ekonomi, melainkan kebutuhan emosional seperti ingin diterima, dianggap keren, atau sekadar punya teman.
"Banyak dari mereka fatherless, kehilangan figur ayah, atau berasal dari keluarga yang retak," jelas Marciana. "Rumah sudah tidak lagi jadi tempat pulang. Mereka mencari pengganti itu di luar, di grup-grup seperti ini."

Fakta ini menampar banyak pihak. Ternyata, ancaman kekerasan seksual dan eksploitasi tidak selalu muncul dari luar rumah. Seringkali, justru berawal dari kesepian, rasa tidak dihargai, dan kurangnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas digital anak.

Pemulihan dan Pendampingan

Para korban kini menjalani pendampingan psikologis dan rohani di rumah perlindungan anak. Proses pemulihan rata-rata berlangsung dua bulan sebelum mereka bisa kembali ke rumah dan sekolah.
Namun, bagi sebagian anak, luka batin yang ditinggalkan tidak semudah itu hilang. "Ada yang masih trauma, takut berinteraksi, bahkan menolak kembali ke sekolah," tutur Marciana.

Untuk mencegah kasus serupa, DP3A menggandeng satgas di tingkat kelurahan, sekolah, hingga lembaga masyarakat. Pendekatan lintas sektor menjadi kunci karena persoalan ini tak bisa ditangani oleh satu pihak saja.

DP3A kini berupaya keluar dari pola kerja "pemadam kebakaran". Jika selama ini baru bertindak setelah kejadian, kini mereka berfokus pada pencegahan.
"Kami akan meluncurkan aplikasi pelaporan agar masyarakat lebih mudah melapor ketika menemukan indikasi kekerasan seksual berbasis elektronik," kata Marciana.
Semua grup WhatsApp yang terindikasi kini telah dihapus. Para admin dikumpulkan bersama orang tua mereka untuk pembinaan dan pendampingan.

Selain itu, DP3A memperkuat fungsi edukasi dan monitoring melalui Satuan Tugas Perlindungan Anak di tingkat lurah. Edukasi kepada orang tua dan guru menjadi langkah prioritas, agar pengawasan di lingkungan rumah dan sekolah berjalan lebih efektif.

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menunjukkan, pada 2024 terdapat 185 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 174 terhadap anak di Kota Kupang. Sementara hingga 2025, sudah tercatat 56 kasus baru. Angka ini menunjukkan tren yang masih mengkhawatirkan.

"Ini bukan hanya pekerjaan pemerintah," tegas Marciana. "Kita semua, orang tua, sekolah, gereja, komunitas, harus terlibat. Karena anak-anak kita tumbuh di dunia yang jauh lebih cepat dari kesiapan kita mengawasi mereka."

Kasus "grup WhatsApp vulgar" ini menjadi cermin buram dari realitas baru, ketika ruang digital yang mestinya jadi sarana belajar dan bermain justru berubah menjadi arena eksploitasi.
Dari kisah ini, Kota Kupang belajar bahwa perlindungan anak tak lagi cukup hanya dengan pagar rumah, tetapi harus diperluas hingga ke layar ponsel mereka.

Mencegah kekerasan seksual berbasis elektronik bukan sekadar tugas lembaga atau pemerintah, melainkan tanggung jawab moral seluruh masyarakat, agar tidak ada lagi anak-anak yang kehilangan masa depan di balik notifikasi grup WhatsApp.

Sumber: www.koranmedia.com ; tribunnews.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun