Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Suara Salsa Mengguncang Arogansi Elit

28 Agustus 2025   19:43 Diperbarui: 28 Agustus 2025   19:43 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: asset-2.tribunnews.com

Dalam beberapa waktu terakhir, media sosial Indonesia kembali dipenuhi kehebohan. Isunya bukan sekadar gosip selebriti atau hiruk-pikuk drama politik biasa, melainkan sebuah peristiwa yang mencerminkan jurang menganga antara rakyat dan elit politik negeri ini. Nama Salsa Erwina Hutagalung, seorang diaspora muda asal Indonesia yang kini tinggal di Denmark, mendadak menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap arogansi kekuasaan.

Salsa bukan sosok yang muncul dari ruang hampa. Ia adalah lulusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, kini bekerja sebagai Strategic Manager di Vestas, salah satu perusahaan energi terbarukan terbesar di dunia. Sebagai seorang profesional muda, Salsa terbiasa berpikir global, tetapi pada saat yang sama ia tetap menaruh perhatian besar pada kondisi politik di tanah air. Ia dikenal sebagai sosok kritis yang tidak ragu menyuarakan pandangan, terutama soal politik, demokrasi, dan ketidakadilan.

Ledakan kontroversi bermula dari pernyataan Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI sekaligus politisi Partai NasDem. Ia menyebut bahwa orang yang menginginkan DPR dibubarkan adalah "orang tolol sedunia". Pernyataan ini lahir sebagai respons atas protes publik terhadap kebijakan kenaikan tunjangan anggota DPR tahun 2025. Alih-alih merespons dengan argumentasi rasional atau empati, Sahroni justru melemparkan ejekan yang merendahkan rakyat.

Di sinilah Salsa masuk. Ia menantang Sahroni untuk debat terbuka dengan juri internasional. Tentu, ajakan ini bukan sekadar adu argumen, melainkan simbol perlawanan intelektual dari rakyat, atau tepatnya, seorang diaspora muda, yang ingin menguji sejauh mana para wakil rakyat benar-benar memahami persoalan yang mereka klaim wakili. Respons Sahroni? Ia menolak, dengan alasan "masih ingin bertapa dulu supaya lebih pintar." Jawaban yang terdengar lebih sebagai candaan sinis ketimbang kerendahan hati seorang pejabat publik.

Namun, situasi kian tegang ketika Salsa mengaku mendapat laporan bahwa tim Sahroni bergerak ke Pamulang, tempat keluarga besarnya tinggal. Baginya, itu bukan kunjungan biasa. Itu adalah bentuk intimidasi. Ia bahkan menegaskan siap mencari dukungan internasional bila keluarganya benar-benar ditekan. "Saya punya jaringan, saya bukan orang sembarangan," begitu kurang lebih pesannya. Dari titik ini, polemik yang awalnya sekadar "adu kata" menjelma menjadi drama politik yang menyentuh aspek kebebasan berekspresi, intimidasi, bahkan ancaman terhadap hak asasi.

Bila kita tarik ke ranah yang lebih luas, perseteruan ini bukan hanya tentang Salsa melawan Sahroni. Ini adalah cermin bagaimana sebagian elit politik masih memandang rakyat sebagai objek, bukan subjek. Aspirasi rakyat dianggap remeh, kritik rakyat dijawab dengan ejekan, dan bila kritik semakin kencang, muncullah tekanan yang membuat rakyat ciut.

Padahal, demokrasi sejati tidak tumbuh dari ruang tanpa kritik. Demokrasi tumbuh justru ketika suara rakyat didengar, diperdebatkan, dan ditindaklanjuti dengan kebijakan yang berpihak. Menghina rakyat dengan label "tolol" hanya menambah jarak antara rakyat dan DPR yang seharusnya mereka percayai. Dan jarak itu, semakin lama semakin melebar, melahirkan ketidakpercayaan yang akut.

Salsa, dengan keberaniannya, menjadi anomali. Ia tidak berada di Indonesia, tetapi ia peduli. Ia bukan politisi, tetapi ia vokal. Ia diaspora, tetapi suaranya lebih nyaring ketimbang banyak tokoh di dalam negeri. Dan itulah yang membuat publik kagum sekaligus gerah. Ia seolah mengingatkan bahwa cinta tanah air tidak ditentukan oleh lokasi geografis, melainkan oleh keberanian menyuarakan keadilan.

Kasus ini membuka pertanyaan besar: apa makna wakil rakyat jika suara rakyat dianggap tolol? Apakah DPR masih menjadi rumah rakyat, ataukah hanya klub eksklusif para elit yang sibuk mempertahankan privilese?

Di tengah rasa apatis yang makin tumbuh di kalangan masyarakat terhadap politik, kisah Salsa ini menghadirkan secercah harapan. Bahwa masih ada orang muda yang berani, meski harus melawan struktur kekuasaan yang jauh lebih besar. Ia adalah pengingat bahwa rakyat tidak seharusnya diam. Bahwa kritik tidak boleh dibungkam. Bahwa demokrasi hanya bisa hidup bila ada yang berani menyuarakan kebenaran, meski harus melawan arus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun