Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika AI Mengubah Wajah Promosi Kesehatan

10 Juli 2025   13:34 Diperbarui: 10 Juli 2025   13:34 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya membayangkan di suatu senja ketika seorang ibu muda dari pedalaman Nusa Tenggara Timur duduk di bawah pohon asam, membuka ponselnya yang sudah retak, lalu bertanya pada sebuah chatbot: "Anak saya demam sejak kemarin, harus dibawa ke mana?"

Mungkin ini hanya sebuah adegan fiksi. Namun bisa saja ke depannya akan semakin sering terjadi. Kita hidup di zaman ketika kecanggihan bukan lagi milik rumah sakit besar, tetapi juga hadir di telapak tangan mereka yang hidup jauh dari pusat layanan kesehatan. Dan semua itu dimungkinkan oleh satu hal: Artificial Intelligence (AI).

AI tidak datang seperti dokter dengan jas putih atau perawat yang mengetuk pintu rumah. Ia hadir lewat notifikasi kecil di layar, pesan pendek yang ramah, atau suara digital yang menjawab tanpa letih. Tapi jangan salah. Dampaknya nyata.

Kini, promosi kesehatan bukan hanya milik papan pengumuman di Puskesmas. Ia hidup di media sosial, di chatbot berbasis WhatsApp, bahkan dalam aplikasi yang mampu menyesuaikan pesan edukatif sesuai usia, gender, hingga preferensi bahasa pengguna.

AI dalam promosi kesehatan sejatinya sedang melakukan apa yang sudah lama kita impikan: menyentuh masyarakat satu per satu.

Dulu, kampanye kesehatan bersifat general. Kita pasang spanduk bertuliskan "Ayo Imunisasi!" atau "Cegah Stunting dengan Gizi Seimbang," lalu berharap semua yang lewat membaca dan paham. Tapi AI bekerja secara sebaliknya, ia mendengarkan dulu, lalu bicara.

Ia tahu siapa audiensnya. Ia tahu apakah pengguna butuh informasi tentang anemia remaja atau edukasi gizi balita. Dan ketika teknologi ini digunakan dengan benar, ia bisa memperbaiki sesuatu yang selama ini jadi tantangan besar dalam promosi kesehatan: relevansi pesan.

Tentu, personalisasi bukan hal baru. Tapi AI membuatnya skalabel. Kita tidak perlu lagi satu kader untuk satu rumah tangga. Kita bisa punya satu sistem yang bicara kepada ribuan orang dengan bahasa dan nada yang mereka pahami.

Apa yang membuat teknologi ini begitu kuat? Jawabannya adalah kemampuan untuk menciptakan komunikasi dua arah.

Chatbot, misalnya, tidak hanya memberi tahu, tapi juga menanyakan kembali: "Apa gejalanya?" atau "Sudah berapa lama?" Ini bukan hanya soal akurasi, tapi soal pendekatan yang menghargai pengalaman pengguna. Dalam interaksi itu, seseorang merasa didengarkan, sekalipun oleh mesin.

Dan dalam konteks promosi kesehatan, perasaan didengarkan bisa menentukan apakah seseorang akan mengambil langkah pencegahan atau tidak.

Namun mari bersikap jujur. AI bukan tanpa cela. Ia secerdas data yang diberikan padanya. Jika data yang dipakai untuk melatihnya berasal dari kota besar saja, maka suara perempuan adat, lansia dari desa terpencil, atau anak muda yang hidup di pinggiran, bisa hilang dari sistem. Bias algoritma adalah hantu yang tak boleh kita abaikan.

Lalu ada soal privasi dan etika. Siapa yang menyimpan data kesehatan yang diketikkan warga ke chatbot? Apakah aman? Apakah bisa diperdagangkan diam-diam oleh perusahaan besar?

Dan yang tak kalah penting: interaksi manusia. Kita tidak sedang berfantasi bahwa mesin bisa menggantikan kehangatan seorang bidan yang memegang tangan pasiennya. Tapi kita sedang berbicara tentang kolaborasi yang mungkin: ketika manusia dan mesin bekerja bersama untuk menjangkau yang selama ini tak terjangkau.

Maka, di tengah tantangan dan harapan ini, satu hal yang pasti: kita tidak bisa lagi mempromosikan kesehatan dengan cara yang sama seperti dua dekade lalu.

Hari ini, promosi kesehatan bukan hanya soal menyebar informasi. Ia adalah seni menjalin relasi, membangun kepercayaan, dan menciptakan percakapan. Dan, AI bisa menjadi alat yang sangat efektif dalam proses ini. Dengan integrasi pada platform digital, pemanfaatan machine learning, hingga pengembangan sistem cloud yang aman dan kolaboratif, AI menjadi tangan tambahan bagi tenaga kesehatan dan pemimpin komunitas.

Namun agar AI benar-benar berarti, kita harus menggunakannya dengan bijak. Dengan regulasi yang jelas, prinsip etika yang kokoh, dan partisipasi masyarakat sejak awal. Karena teknologi sebesar apapun hanya akan seefektif nilai yang menggerakkannya.

Jadi, AI bukan sekadar alat. Ia adalah jendela menuju cara baru memahami manusia dengan data, dengan pola, namun tetap harus dibingkai oleh empati.

Dan dalam dunia kesehatan, empati itulah yang membuat mesin bisa ikut menyembuhkan. Bukan karena ia menggantikan kita, tapi karena ia memperkuat kita. Kita, para manusia yang memilih untuk tidak berhenti peduli. Tulisan ini mungkin adalah sebuah pendapat dan khayalan, namun siapa tahu suatu saat nanti kitab isa memaksimalkan AI sampai ke daerah terpencil. Semoga!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun