"Jadi Bapak mengundurkan diri agar Brotoseno ikut mundur. Kemudian Sengkuni akan kehilangan kekuatan, dan secara otomatis Krisna yang naik sebagai ketua RT." Kata Bagong yang mulai paham dengan ucapan Bapaknya.
"Krisna, orang itu lebih terlihat arif dan bijak ketimbang Brotoseno yang tampak bodoh dan tak sadar dirinya dimanfaatkan sebagai alat balas dendam Sengkuni. Krisna juga suka menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan RT, jadi Bapak rasa dia pantas untuk meneruskan jabatan ini." Kata Semar.
Hingga hari dimana pemilihan RT itu berlangsung, Brotoseno tak menepati janjinya. Brotoseno menang terpilih jadi ketua RT. Krisna kalah suara dengan begitu telak. Sengkuni semakin merasa menang, berjaya bermahkotakan rasa bangga. Sedangkan Semar kian terpuruk tenggelam dalam nama buruk.Â
Bagong, Pertuk, Gareng  membatin, berdiam menahan murka. Akan tetapi akankah Semar membalas? Tidak, apalah harganya jabatan ketua RT yang selama 20 tahun ia pegang, namun tak sekalipun membuatnya berenang dalam emas. Semar percaya balasan itu tidak akan datang darinya, sehingga bukan ialah yang berhak memberi balasan itu. Tuhan tidaklah buta terhadap kedzaliman.
Cerpen ditulis dan dikarang oleh Harry Wijaya
Depok, 28 Desember 2019