Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Banyak Orang Merasa Paling Paham Sejarah?

9 September 2023   13:03 Diperbarui: 9 September 2023   13:06 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maju perkembangan teknologi informasi membawa dampak positif dan negatif di masyarakat luas. Cepatnya arus informasi keseluruh belahan dunia membuat masyarakat menjadi mudah mengetahui hal-hal baru yang terjadi ataupun hal-hal yang sudah terjadi di masa lampau. Selain mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi, banyaknya informasi di internet membawa dampak buruk tersendiri. Salahsatunya munculnya banyak orang yang merasa menjadi "pakar" dalam segala hal dengan berpatokan dengan apa yang ada di internet. 

Bidang yang kerap banyak masyarakat merasa paling tahu yaitu sejarah. Alasan pemilihan sejarah ini karena latar belakang penulis yang sedang menumpuh pendidikan kuliah di jurusan Ilmu Sejarah yang sering ada rasa gemas dan kesal dengan banyaknya orang yang merasa "si paling sejarah" tanpa mengetahui metode sejarah itu sendiri. Berdasarkan pengalaman penulis sendiri ada 3 alasan yang membuat mereka merasa sangat ahli dalam bidang sejarah.

Pendidikan masa Sekolah

Seperti yang pernah menempuh pendidikan negeri di Indonesia SD-SMA pelajaran mengenai sejarah khusunya sejarah Indonesia yang diajarkan oleh sekolah tidak jauh-jauh dari manusia pra-sejarah dan proklamasi kemerdekaan yang menjadi pembahasan utama disetiap jenjang pendidikan tanpa adanya perluasan materi. Materi-materi lain seperti kerajaan hindu-budha, dan islam tidak terlalu menjadi pembahasan yang serius bahkan terkesan membosankan dibahas meski selalu ada pula dari SD hingga SMA. Belum lagi sejarah Indonesia pada masa penjajahan belanda orang-orang hanya mengingat tanam paksa pada masa Daendels tanpa mengetahui lebih jelas sebab-akibat kebijakan tersebut.

Belum lagi pelajaran sejarah seperti pelajaran sosial lainnya pada masa sekolah sangat dekat dengan urusan menghafal. Hal itu membuat banyak murid-murid sekolahan lebih banyak mencoba menghafal isi buku atau pelajaran yang diberikan oleh guru tanpa adanya proses berpikir kritis yang lebih lanjut atau paling tidak masuk akal atau tidaknya ilmu yang mereka dapat.

Padahal jika dijenjang perkuliahan yang dimana proses masuk perguruan tinggi negeri sekarang ini sangat ditumpu pada penalaran dan berpikir kritis, dan juga ketika didunia perkulihan dua hal itu masih digunakan. Khusus jurusan sejarah sendiri setau penulis tempuh dalam proses belajar kita dituntut untuk tidak mudah percaya pada satu sumber bacaan atau sumber sejarah lain, karena ada kemungkinan ditemukannya bias atau subjektivitas dalam pembuatannya sehingga tidak menampilkan fakta yang sebenarnya. Itulah dalam metode sejarah perlu dilakukan verifikasi dan intepretasi data untuk menghasilkan data yang objektif dan bisa mendekati kebenaran itu sendiri.


Hanya melihat di internet

Kemudian banyaknya informasi di internet dan bebas seseorang dari latar belakang apapun untuk menyebarkan sesuatu di internet membuatnya menjadi sumber hoax atapun banyak kekeliruan. Salahsatunya pernah saya membuat artikel tentang kelirunya banyak media online mencantumkan tanggal pelaksanaan Gunting Sjafruddin yang dilakukan pada masa Demokrasi Parlementer. Kebanyakan media hanya mengutip media lain yang bersumber pada suatu tulisan di buku yang jika melihat buku yang dirujuk tidak ditemukan pembahasan yang dimaksud. Untuk jelasnya bisa dilihat dalam artikel saya berikut ini.

"Yah saya kan tidak kuliah sejarah"

Ini merupakan hal yang paling menjengkelkan ketika ingin menegur salah satu orang terdekat kita ataupun orang asing di media sosial jika mereka melakukan kesalahan dalam menulis berkaitan dengan sejarah terutama terkait pencantuman sumber yang seringkali tidak ada atapun pengambilan sumber argument mereka yang sangat subjektif karena dalam metode sejarah hal itu perlu diminimalisir. Tetapi meraka kerapkali menggunakan dalih tersebut seakan-akan dengan tidak berkuliah di sejarah bisa menjadikan alasan yang masuk akal mengapa mereka asal mengambil kutipan ataupun sumber tertentu tanpa dianalisis terlebih dahulu dan dengan mudahnya menyebarkan hal-hal yang belum jelas bukti dan kebenarannya untuk konsumsi khalayak luas.

Itu sangat berbeda jika saya melihat para dosen saya ketika mencoba menjawab pertanyaan para mahasiswanya yang jika merujuk pada pembahasan yang lebih spesifik seperti sejarah ekonomi atau sejarah militer para dosen pada umumnya akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dan diakhiri dengan menyarankan mahasiswa itu menanyakan lagi kepada dosen lain karena pertanyaannya merupakan bidang utama untuk dosen yang disarankan sehingga sang mahasiswa bisa mendapat jawaban lebih akurat karena bisa menemukan orang yang lebih ahli meski keduanya merupakan dosen sejarah namun memiliki pengetahuan atau wawasan lebih mendalam tentang topik sejarah tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun