Mohon tunggu...
Harris Ridwan
Harris Ridwan Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Eastern90s Productions

Jujur, kolom bio ini adalah kolom yang masih saya pikirkan sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pisang Molen Negara

10 Juli 2021   13:38 Diperbarui: 10 Juli 2021   13:43 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sore adalah waktu yang tepat untuk jalan-jalan cari apapun yang sebenarnya mungkin tidak penting-penting amat namun kita cari juga. Bahkan tidak jarang kita keluar rumah dulu, baru menentukan apa yang mau dicari. 

Sambil mencari-cari apa yang mau dicari, aku dan Bapak melewati sebuah jalan yang agak kecil, hanya cukup untuk 2 mobil LCGC, namun dengan kehebatan orang Indonesia, jalan tersebut bisa muat 2 buah Land Cruiser plus satu motor. Disamping itu ada gerobak pisang molen yang tidak penuh dengan pisang molen. Maksudku, space nya besar, namun hanya bagian tengahnya saja yang berisi butiran-butiran pisang molen yang kecil-kecil itu. 

Lalu Bapak, yang tadinya memperhatikan handphone ditangannya, tiba-tiba berkomentar. "Wah kecil-kecil ya gorengan jaman sekarang" kata Bapak. Lalu aku bertanya, "memangnya jaman dulu besar-besar ya?". Benar juga, aku sering mendengar cerita dari orang-orang tua yang substansinya adalah jaman dulu lebih baik daripada jaman sekarang. Entah itu memang secara teknis, atau hanya permasalahan move on. Tapi setelah kuperhatikan, memang pisang molen itu kecil sekali. Dan harganya masih tetap sama dengan harga pisang molen jaman dulu yang mungkin sedikit lebih besar.

"Kalau diluar negeri, gorengan-gorengan masih enak-enak dan harganya pas. Worth it!" kata Bapak melanjutkan. "Wah, berarti bukan faktor jaman" gumamku dalam hati. Apa ini karena negara? Kalau kita perhatikan dalam skala yang lebih luas dari pisang molen, memang stigma negara kita adalah minus. Maksudku dalam hal-hal tertentu, jika kata "lokal" disematkan dalam sebuah nama, konotasinya cenderung negatif. Contohnya buah lokal vs buah impor, spare part lokal vs spare part impor, tas lokal vs tas impor. Apa diluar negeri juga begitu ya? Apa mereka bangga memakai produk impor yang didatangkan dari luar negaranya? Apa kitanya yang nggak "pede"?

Tapi tidak juga, pisang molen itu memang kecil-kecil. Dan beberapa barang lokal memang cenderung memiliki kualitas yang kurang jika dibandingkan dengan barang impior. Pertanyaannya, apa kita memang tidak bisa membuat yang bagus? Berarti, apakah ini masalah peradaban? Diskoneksi antara penguasa dan rakyat? Salah kiblat? Atau kita saja yang malas? Kenapa kita malas? Kenapa luar negeri tidak? Apa mereka didukung? Didukung siapa? Lingkungan? Pemerintah? Sehingga pisang molen impor besar-besar? Sehingga rakyat diluar negeri sejahtera dan kiblat mereka adalah "bermanfaat bagi orang banyak" dan bukan "mencari keuntungan sendiri, yang penting makan"? Apakah kita berada dalam suatu atmosfer yang membuat kita memiliki mindset yang salah kiblat? Lalu salah atmosfer? Siapa yang menciptakan atmosfer?

Sudahlah, overthinking-ku kicks in dan aku pusing sendiri. Intinya, kalau mau melihat kondisi negara kita baik atau tidak, lihat saja pisang molen nya. Kalau sudah besar-besar dan worth it, berarti negara kita sudah bagus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun