MBG: Dari Program Konstitusi Menuju Polemik Publik
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada dasarnya lahir dari amanat konstitusi: negara wajib memenuhi kebutuhan dasar warganya, termasuk akses gizi yang layak. Presiden menjadikannya program prioritas untuk meningkatkan kualitas generasi mendatang.
Namun, idealisme ini kini berhadapan dengan kenyataan pahit. Kasus keracunan massal ribuan siswa di berbagai daerah, ditambah isu adanya surat perjanjian yang meminta penerima manfaat "merahasiakan" kejadian luar biasa seperti dugaan keracunan, menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana mungkin sebuah program yang seharusnya menyehatkan justru menimbulkan keresahan publik?
Surat Perjanjian: Logika yang Sulit Dipahami
Kabar beredarnya surat perjanjian kerahasiaan di sejumlah sekolah---mulai dari Sleman, Blora, Brebes, hingga Pamekasan---mengguncang kepercayaan masyarakat. Surat itu meminta penerima manfaat MBG untuk tidak menyebarkan informasi terkait keracunan.
Kepala Dinas Pendidikan Sleman, Mustadi, mengakui bahwa surat tersebut memang beredar di sekolah-sekolah. Namun, Badan Gizi Nasional (BGN) membantah pernah mengeluarkan instruksi demikian. Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah membuat perjanjian seperti itu.
Situasi ini menimbulkan dua masalah serius: ketidakjelasan otoritas dan krisis kepercayaan publik. Jika benar ada surat itu, berarti telah terjadi penyalahgunaan instruksi. Jika surat palsu, mengapa bisa menyebar luas dan dipatuhi di lapangan?
Relasi Negara dan Warga: Hak dan Kewajiban
Program MBG berbeda dengan tradisi sosial seperti "Jumat Berkah" yang dilakukan secara sukarela oleh masyarakat. MBG hadir sebagai kewajiban negara, bukan sekadar amal. Artinya, warga negara berhak mendapatkan makanan bergizi dengan standar kualitas terbaik.
Di sinilah letak krusialnya. Negara tidak sedang "berbagi kebaikan," melainkan menjalankan amanat konstitusi. Relasi negara--warga negara seharusnya berbasis pada hak dan kewajiban, bukan pada rasa takut, intimidasi, atau kewajiban bungkam.
Jika negara gagal menjamin kualitas, dan bahkan mencoba membungkam laporan keracunan, maka bukan hanya gagal melaksanakan kewajiban, tetapi juga melanggar prinsip transparansi publik.
Kasus keracunan MBG dan munculnya isu surat perjanjian mencerminkan krisis tata kelola publik. Ada setidaknya tiga indikator:
1. Kualitas Pengadaan dan Distribusi
Ribuan kasus keracunan menunjukkan lemahnya pengawasan dalam rantai penyediaan makanan, mulai dari dapur penyedia hingga distribusi ke sekolah-sekolah.
2. Ketidaktransparanan Informasi
Alih-alih membuka data dan melakukan investigasi menyeluruh, muncul justru upaya meredam dan menutup-nutupi. Hal ini berbahaya bagi demokrasi yang sehat, karena publik kehilangan akses informasi yang benar.
3. Akuntabilitas yang Kabur
Hingga kini, pertanyaan terbesar masih belum terjawab: siapa yang bertanggung jawab atas ribuan siswa yang menjadi korban? Apakah penyedia lokal, pengawas lapangan, atau justru kementerian terkait?
"Zaman Edan" dan Cermin Peradaban
Antropolog Andang Subaharianto dalam tulisannya di Kompas.com menyebut fenomena ini sebagai bagian dari "zaman edan" sebagaimana pernah disindir pujangga Ranggawarsita dalam Serat Kalatida (1860).
Bangsa yang kerap menyebut dirinya beradab dan adiluhung ternyata bisa terjebak dalam praktik yang justru jauh dari prinsip kemanusiaan. Menyembunyikan keracunan massal sama halnya dengan "menyembunyikan bangkai di bawah karpet". Pada akhirnya, bau busuk tetap akan tercium.
Jalan Keluar: Reformasi Tata Kelola MBG
Agar program MBG tidak menjadi "Makan Berisiko Gratis", sejumlah langkah strategis perlu dilakukan:
- Evaluasi menyeluruh terhadap seluruh rantai distribusi MBG, dari dapur, penyedia bahan baku, hingga pengawasan di sekolah.
- Keterlibatan masyarakat sipil dan lembaga independen dalam pengawasan, bukan hanya laporan internal birokrasi.
- Transparansi data keracunan dan perbaikan standar kualitas makanan agar sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan.
- Penegakan akuntabilitas dengan jelas: siapa yang salah harus bertanggung jawab, baik secara administratif maupun hukum.
Program Makan Bergizi Gratis seharusnya menjadi kebanggaan bangsa. Ia dirancang untuk mencetak generasi sehat dan cerdas. Namun, realitas keracunan massal dan isu "perjanjian rahasia" telah mengubahnya menjadi momok menakutkan.
Jika negara ingin mengembalikan kepercayaan publik, maka satu-satunya jalan adalah transparansi, akuntabilitas, dan keberanian memperbaiki tata kelola. Sebab, dalam relasi negara dan warga negara, kejujuran adalah fondasi utama. Tanpa itu, program mulia apa pun bisa berubah menjadi horor.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI