JK mengingatkan, "Kalau kota bergejolak seperti ini, maka kehidupan ekonomi akan berhenti." Benar. Demo berhari-hari membuat distribusi barang terganggu, pedagang kecil kehilangan pelanggan, dan ojol lain kesulitan mencari order.
Tetapi mari kita balik pertanyaannya: siapa yang menyalakan api sehingga ekonomi terguncang? Rakyat tak tiba-tiba turun ke jalan tanpa sebab. Mereka bereaksi karena merasa dihina, disepelekan, dan dimiskinkan.
Artinya, tanggung jawab menjaga stabilitas ekonomi bukan hanya di pundak rakyat yang diminta "menahan diri", tetapi terutama di mulut pejabat yang diminta "menahan lidah". Jika DPR bisa lebih berhati-hati dalam bicara, mungkin massa tak perlu turun, dan ekonomi tak perlu macet.
Apa yang hilang dari politik kita hari ini? Empati.
Di ruang-ruang kekuasaan, empati sering digantikan kalkulasi politik dan hitung-hitungan kursi. Rakyat dianggap angka dalam survei, bukan manusia dengan perut lapar dan anak yang butuh biaya sekolah.
Ketika ada kritik, alih-alih ditanggapi dengan rendah hati, justru dijawab dengan sinisme. Ketika rakyat menjerit soal harga beras, DPR sibuk rapat soal tunjangan rumah. Ketika rakyat berdebat soal biaya hidup, DPR berdebat soal kursi pimpinan komisi.
Maka wajarlah jika Gus Dur dulu pernah berujar, "DPR seperti anak taman kanak-kanak." Dua puluh tahun kemudian, pernyataan itu terasa abadi.
Meski mudah menyalahkan DPR, refleksi juga perlu ditujukan kepada kita semua. Demokrasi bukan hanya soal wakil yang duduk di kursi empuk, tapi juga soal rakyat yang memilihnya.
Jika kita marah pada DPR yang asal bicara, jangan lupa: mereka ada di sana karena suara kita. Kita memilih mereka, entah karena janji manis, foto baliho, atau sekadar ikut arus.
Maka demo kali ini harus jadi bahan renungan: apakah kita akan terus memilih karena amplop dan citra, atau mulai melihat rekam jejak dan integritas? Demokrasi tanpa kedewasaan rakyat hanya akan melahirkan wakil yang asal bunyi.
Demo yang meluas memperlihatkan dua hal sekaligus: pertama, rakyat masih punya daya untuk bersuara; kedua, negara masih gagal menyediakan ruang dialog yang sehat.