Dalam politik, ucapan bukan sekadar kata-kata. Ia bisa menyalakan api, menenangkan hati, atau justru memicu ledakan sosial. Kasus terbaru yang menyulut demo sejak 25 Agustus 2025 lalu adalah bukti nyata: pernyataan anggota DPR yang dianggap asal bunyi, bahkan menghina rakyat, memantik amarah massa.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, mengingatkan: "Jangan bicara asal-asal dan jangan menghina masyarakat. Ini semua penyebab masalah." Ucapan JK sederhana, tapi menyentil inti persoalan. Sebab, di negeri demokrasi, lidah para wakil rakyat seharusnya terikat etika, bukan sekadar selera retorika.
Sayangnya, lidah itu sering terlepas kendali. Dari ruang rapat hingga konferensi pers, publik mendengar ungkapan yang seolah merendahkan jerit rakyat. Contohnya polemik tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, yang ketika dijelaskan malah menambah bara. Bukan empati yang terdengar, melainkan kesan sombong: "Ya memang segitu biayanya, kalau tak suka jangan protes."
Apakah ini sekadar salah komunikasi, atau memang cermin mentalitas elite yang abai?
Demo yang meledak di Senayan bukan pertama kali. Setiap kali ada ketidakadilan---dari RUU kontroversial, isu korupsi, hingga kebijakan ekonomi---jalan raya jadi ruang protes rakyat. Bedanya kali ini, pemicu utamanya bukan aturan tebal ratusan halaman, melainkan kata-kata pendek dari anggota DPR.
Kata yang salah tempat bisa lebih tajam dari peluru. Rakyat sudah lelah dengan isu gaji jumbo pejabat, apalagi ketika biaya hidup makin mencekik. Saat itu, yang dibutuhkan adalah kepekaan. Tetapi yang terdengar justru pernyataan yang menyiram bensin ke api: rakyat dianggap iri, rakyat dibilang tak paham, rakyat disebut cuma bisa mengeluh.
Tak heran jika demo meluas. Dari ojol yang kehilangan rekan kerjanya, mahasiswa yang tergerak solidaritas, hingga pekerja kecil yang merasa harga pangan tak seimbang dengan upah. Semua menemukan satu titik temu: marah pada wakil rakyat yang lupa pada kata "wakil".
Kemarahan rakyat semakin membara ketika Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas dilindas rantis polisi. Peristiwa ini mengubah protes yang semula berpusat pada kata-kata DPR menjadi gerakan kemanusiaan.
Nama Affan kini menjadi simbol. Ia bukan sekadar korban, tetapi representasi rakyat kecil yang suaranya sering ditutup, tubuhnya terpinggirkan, bahkan nyawanya melayang demi aspirasi. Ketika Prabowo melayat ke rumah duka, air mata ibunda Affan pecah: "Anak saya sudah enggak ada, Pak."
Tragedi ini memperlihatkan satu hal: demonstrasi bukan sekadar angka massa di jalan, tetapi wajah nyata penderitaan. Ketika aparat dan rakyat berhadapan, yang pecah bukan hanya kaca gedung DPR, melainkan juga kepercayaan sosial.