Tujuh puluh delapan tahun telah berlalu sejak kemerdekaan Indonesia dikumandangkan ke seluruh penjuru Nusantara.Â
Namun, di balik gegap gempita upacara tahunan dan rutinitas pengibaran Sang Saka Merah Putih, terdapat lembar sejarah yang nyaris terlupakan: naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tulisan tangan Soekarno.Â
Sebuah dokumen sederhana namun monumental yang sempat terpinggirkan, dan baru "diselamatkan" secara formal hampir lima dekade setelah peristiwa 17 Agustus 1945.
Peristiwa penyusunan naskah proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda pada dini hari 17 Agustus merupakan babak penting dalam sejarah bangsa.Â
Rumah itu, yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, menjadi saksi bisu kerja sama lintas batas antara tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan figur perwira militer Jepang yang menjamin keamanan proses perumusan.Â
Di sana, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo menuliskan takdir bangsa dalam satu paragraf pendek, yang kelak mengguncang kolonialisme dan menyulut semangat kemerdekaan di seantero negeri.
Namun, yang jarang diketahui publik adalah bagaimana naskah tulisan tangan Bung Karno itu hampir saja lenyap dari sejarah.Â
Seorang jurnalis muda, Burhanuddin Mohammad Diah, menyelamatkannya dari meja---melipatnya dan menyimpannya dalam saku.Â
Bertahun-tahun, dokumen itu disimpan dalam diam, jauh dari sorotan negara yang sedang sibuk membangun republik baru.Â
Tanpa kesadaran sejarah dan keberanian BM Diah, mungkin Indonesia hanya akan mengenal naskah ketikan Sayuti Melik sebagai satu-satunya bukti tekstual kelahiran bangsanya.
Ironi ini menyiratkan persoalan yang lebih dalam: bagaimana bangsa ini memperlakukan arsip dan warisan sejarahnya.Â
Dalam banyak kasus, benda-benda bernilai sejarah lebih sering ditemukan oleh individu daripada dikelola secara sistematis oleh negara.Â
Padahal, di tengah kemajuan teknologi informasi dan meningkatnya kesadaran publik akan pentingnya memori kolektif, pelestarian dokumen asli Proklamasi seharusnya menjadi prioritas nasional sejak awal kemerdekaan.
Kisah naskah Proklamasi juga menyimpan pelajaran tentang pentingnya kolaborasi dalam momen genting.Â
Saat mesin tik berhuruf Latin tidak tersedia, bantuan datang dari tempat tak terduga: kantor militer Jerman.Â
Melalui tangan Satzuki Mishima dan pinjaman mesin tik Mayor Kadelar, naskah Proklamasi berhasil diketik dan diduplikasi.Â
Momen ini bukan sekadar anekdot sejarah, tetapi simbol bahwa dalam kondisi keterbatasan, solidaritas lintas identitas mampu mengukir sejarah.
Kini, menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, cerita di balik naskah Proklamasi bukan sekadar nostalgia.Â
Ia menjadi pengingat bahwa sejarah bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga tanggung jawab hari ini.Â
Tanggung jawab untuk mengingat, merawat, dan menjadikannya pijakan untuk melangkah ke depan dengan lebih bijak dan berdaulat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI