Ironi ini menyiratkan persoalan yang lebih dalam: bagaimana bangsa ini memperlakukan arsip dan warisan sejarahnya.Â
Dalam banyak kasus, benda-benda bernilai sejarah lebih sering ditemukan oleh individu daripada dikelola secara sistematis oleh negara.Â
Padahal, di tengah kemajuan teknologi informasi dan meningkatnya kesadaran publik akan pentingnya memori kolektif, pelestarian dokumen asli Proklamasi seharusnya menjadi prioritas nasional sejak awal kemerdekaan.
Kisah naskah Proklamasi juga menyimpan pelajaran tentang pentingnya kolaborasi dalam momen genting.Â
Saat mesin tik berhuruf Latin tidak tersedia, bantuan datang dari tempat tak terduga: kantor militer Jerman.Â
Melalui tangan Satzuki Mishima dan pinjaman mesin tik Mayor Kadelar, naskah Proklamasi berhasil diketik dan diduplikasi.Â
Momen ini bukan sekadar anekdot sejarah, tetapi simbol bahwa dalam kondisi keterbatasan, solidaritas lintas identitas mampu mengukir sejarah.
Kini, menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, cerita di balik naskah Proklamasi bukan sekadar nostalgia.Â
Ia menjadi pengingat bahwa sejarah bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga tanggung jawab hari ini.Â
Tanggung jawab untuk mengingat, merawat, dan menjadikannya pijakan untuk melangkah ke depan dengan lebih bijak dan berdaulat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI