Mari jujur sebentar: Rojali dan Rohana bukan mereka yang tak ingin belanja. Mereka adalah representasi konsumen yang ingin tapi tak bisa. Mereka masuk mal seperti ke museum: mengamati, mengagumi, lalu pulang dengan wawasan baru tapi tanpa barang baru.
Bukan karena mereka tak tahu harga, tapi karena isi saldo lebih cocok untuk kebutuhan pokok. Gaji UMR, cicilan menumpuk, inflasi diam-diam nyelip ke harga mie instan. Jadi, belanja baju baru bisa kalah oleh beli gas 3kg.
Gaya Hidup atau Gejala Ekonomi?
Di titik ini, Rojali dan Rohana bukan sekadar tren internet, tapi indikator sosial-ekonomi. Mereka adalah sinyal. Bukan dari satelit, tapi dari masyarakat yang mulai terdesak. Sinyal bahwa daya beli kita perlu perhatian. Bahwa ekonomi bukan sekadar tumbuh, tapi harus bisa dirasakan sampai ke kelas yang makin rentan.
BPS pun menyebut Rojali harus jadi perhatian pemerintah. Bukan hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tapi juga memperkuat daya tahan konsumsi rumah tangga. Karena ekonomi bukan hanya tentang siapa yang punya uang, tapi juga siapa yang mampu belanja.
Penutup Penuh Tanya
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Mengutuk Rojali dan Rohana? Tentu tidak. Mereka justru harus dimengerti. Karena hari ini, mungkin mereka hanya menatap etalase. Tapi kalau dibiarkan, besok mereka bahkan tak mampu melangkah ke mal.
"Rojali dan Rohana tak ingin sekadar viral. Mereka ingin dipahami. Karena di balik tawa netizen, ada keresahan yang sedang menunggu solusi."
- Harmoko, Penulis Penuh Tanya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI