Menteri Perdagangan menyebut masyarakat tak perlu risau dengan fenomena Rojali dan Rohana. Menurutnya, konsumen sekarang lebih pintar: cek barang langsung ke toko, lalu beli online. Tapi tetap saja, kenapa banyak dari mereka yang akhirnya tidak beli sama sekali?
Pengelola pusat perbelanjaan pun mulai merasa cemas. Pengunjung memang ramai, tapi omzet seret. Promo demi promo digelar, "buy 1 get 3" ditawarkan, hadiah undian mobil digadang-gadang. Tapi tetap saja, para Rojali berdiri tegak seperti pahlawan ekonomi pasif. Datang ramai-ramai, pulang hanya dengan struk parkir.
Fenomena Sosial atau Alarm Ekonomi?
Yang menarik, Rojali dan Rohana tidak hanya hidup di pusat perbelanjaan. Mereka juga hidup di lini masa kita, di kampus, di kantor, bahkan di rumah sendiri. Mereka adalah gambaran dari masyarakat yang secara psikologis masih ingin "bergerak", tapi secara ekonomi harus banyak "diam".
Apakah ini pertanda masyarakat mulai bijak dalam konsumsi? Mungkin iya. Tapi bisa juga ini pertanda bahwa roda konsumsi nasional sedang pincang.
Padahal, konsumsi rumah tangga adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Jika tulang ini mulai remuk karena "diet dompet nasional", maka efek domino bisa menjalar ke sektor lain: dari ritel, manufaktur, logistik, hingga perbankan.
Refleksi: Saatnya Membaca Gejala, Bukan Hanya Angka
Fenomena Rojali dan Rohana seharusnya mendorong kita untuk lebih peka membaca gejala, bukan hanya angka. Di saat angka kemiskinan menurun, tapi jumlah orang yang hanya "window shopping" meningkat, maka ada sesuatu yang perlu diselidiki lebih dalam.
Rojali dan Rohana juga mengajarkan kita bahwa hidup tak melulu soal belanja. Ada yang datang ke mal untuk menghibur anak, mencari AC gratis, atau sekadar merayakan kebersamaan tanpa transaksi. Dan itu sah saja. Tapi jika hal ini terjadi karena memang tidak ada pilihan lain, maka perlu ada perhatian lebih dari pemangku kebijakan.