Banyak dari mereka adalah perempuan muda yang hamil di luar nikah, dikucilkan keluarga, atau tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk mengasuh anak.Â
Sindikat ini memanfaatkan celah itu untuk menawarkan "jalan keluar" berupa iming-iming uang dan bantuan persalinan---yang ujung-ujungnya adalah penjualan anak.
Refleksi yang muncul dari kasus ini sangat mendalam.Â
Negara harus mengakui bahwa sistem sosial kita belum mampu menjangkau kelompok-kelompok paling rentan, terutama perempuan hamil dalam tekanan dan anak-anak yang lahir dari kondisi tidak ideal.Â
Celah dalam sistem administrasi kependudukan, lemahnya regulasi adopsi lintas negara, serta absennya pengawasan terhadap perantara ilegal di media sosial adalah titik-titik lemah yang harus segera ditutup.
Kita juga dihadapkan pada pertanyaan etik dan moral: apakah sebagai masyarakat, kita cukup peka terhadap kondisi di sekitar kita?Â
Apakah kita sudah cukup memberi ruang aman bagi ibu dan anak yang terlantar, sebelum mereka jatuh ke pelukan sindikat perdagangan manusia?
Kasus ini adalah alarm keras bahwa perlindungan anak tidak cukup dengan undang-undang di atas kertas, tetapi membutuhkan sistem sosial yang hadir, aktif, dan penuh empati.Â
Jika tidak, maka tragedi demi tragedi akan terus terulang---dan anak-anak Indonesia akan tetap menjadi korban dalam diam.
Palembang, 20 Juli 2025
Ditulis Oleh: Harmoko, Penulis Penuh TanyaÂ