Kasus perdagangan bayi asal Jawa Barat yang baru-baru ini diungkap Polda Jabar menyingkap kenyataan pahit: bahwa nyawa manusia, bahkan sejak dalam kandungan, bisa diperjualbelikan layaknya komoditas.Â
Bayi-bayi tak berdosa ini dijual dengan harga berkisar antara Rp11 juta hingga Rp16 juta, sebagian bahkan sudah "dipesan" sebelum dilahirkan.Â
Fakta ini sungguh mencengangkan sekaligus menyedihkan.
Setidaknya 25 bayi telah dijual oleh sindikat yang beroperasi sejak 2023, dengan sebagian besar korban dikirim ke luar negeri, termasuk Singapura.Â
Enam bayi berhasil diselamatkan, lima di antaranya hendak dibawa ke luar negeri, satu lagi ke Tangerang.Â
Para pelaku---berjumlah sedikitnya 13 hingga 16 orang---memainkan peran berbeda-beda dalam rantai kejahatan ini, dari perekrutan ibu hamil, penampungan, perawatan bayi, hingga pengurusan dokumen palsu seperti KTP, KK, dan paspor.
Yang membuat kasus ini semakin kompleks adalah keterlibatan oknum dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Pontianak yang diduga turut membantu pembuatan dokumen identitas palsu.Â
Bayi-bayi ini lalu diberangkatkan secara "legal semu", seakan-akan telah menjadi anak sah dari orang tua palsu, lengkap dengan identitas baru.
Praktik ini jelas bukan hanya kejahatan hukum, tetapi penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perlindungan anak.Â
Bagaimana mungkin seorang manusia yang belum genap sebulan lahir bisa diperdagangkan lintas batas dengan mulus, sementara sistem negara seakan tertidur di balik dokumen formalitas?
Fakta bahwa beberapa bayi sudah "dipesan" sejak usia kandungan 8--9 bulan memperlihatkan eksploitasi terhadap kemiskinan dan ketidakberdayaan ibu kandung.Â