Ada sebuah ungkapan populer yang terdengar sinis sekaligus finalis: "Selingkuh itu tidak bisa diobati."
Ungkapan ini sering diucapkan dengan nada putus asa atau penuh amarah. Namun, apakah benar demikian?
Menyamakan perselingkuhan dengan penyakit yang tak bisa diobati adalah penyederhanaan yang bisa menyesatkan.Â
Selingkuh bukanlah virus flu yang bisa sembuh dengan antibiotik, atau penyakit autoimun yang hanya bisa ditangani dengan terapi jangka panjang.Â
Ia bukan penyakit, melainkan gejala --- tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam dinamika hubungan yang bersangkutan.
Dalam banyak kasus, perselingkuhan bukanlah akar masalah, melainkan cabang dari akar yang lebih dalam: kurangnya komunikasi, ketidakpuasan emosional atau seksual, hingga luka psikologis yang belum sembuh.
Pasangan yang tidak saling mendengarkan atau tidak bisa mengekspresikan kebutuhan dan ketidaknyamanan secara terbuka akan menyimpan gunungan emosi tak tersalurkan.Â
Dan ketika seseorang merasa tak didengar, tak dihargai, atau tak terpenuhi, peluang untuk mencari pelarian emosional atau fisik di luar hubungan menjadi lebih besar.
Lebih jauh lagi, individu dengan harga diri rendah atau luka masa lalu yang belum sembuh bisa tergoda menggunakan perselingkuhan sebagai cara untuk merasa "berarti".Â
Ini bukan pembenaran, tapi penjelasan. Kita tidak sedang membela pelaku, tetapi berusaha memahami mengapa itu terjadi.
Pertanyaan penting berikutnya adalah: jika selingkuh bukan penyakit, bagaimana "mengobatinya"?
Jawabannya: dengan menyembuhkan akar permasalahan yang melatari terjadinya perselingkuhan.Â
Itu berarti kedua belah pihak --- bukan hanya pelaku --- harus siap menggali luka, berbicara jujur, dan menghadapi ketidaknyamanan.
Kejujuran menjadi fondasi awal. Tidak ada ruang bagi pemulihan jika masih ada kebohongan atau manipulasi.Â
Pasangan perlu mendiskusikan hal-hal paling sulit sekalipun: mengapa itu terjadi? Apa yang dirasakan masing-masing? Apa yang tidak terpenuhi? Apa yang bisa diubah?
Sering kali, dinamika ini terlalu rumit untuk diselesaikan hanya berdua. Bantuan profesional seperti terapis pasangan menjadi krusial.
Terapis bukan hakim. Ia tidak di sana untuk memvonis pelaku atau menghibur korban.Â
Ia hadir sebagai penengah netral, yang membantu pasangan melihat dari sudut pandang yang lebih luas, merumuskan ulang pola-pola komunikasi, dan membangun kembali kepercayaan yang sudah hancur.
Dalam sesi terapi, pasangan diajak mengenali pola yang tidak sehat: misalnya, kecenderungan menghindar dari konflik, kebutuhan afeksi yang tidak diungkapkan, atau siklus saling menyalahkan.
Dari sana, keduanya akan belajar membentuk "hubungan baru" --- karena yang lama telah rusak.Â
Jika berhasil, hubungan yang baru ini bisa jadi lebih jujur, lebih kuat, dan lebih tangguh.
Namun, penting untuk dicatat: tidak semua pasangan berhasil melalui proses ini. Ada kalanya salah satu pihak tidak bisa atau tidak mau berubah.Â
Ada juga yang memutuskan bahwa kepercayaan yang sudah patah tak bisa dibangun kembali. Dan itu valid.
Mengakhiri hubungan bukan selalu berarti kegagalan. Kadang, itu adalah bentuk kejujuran yang paling menyembuhkan.Â
Karena bertahan dalam hubungan yang rapuh hanya demi "tampak utuh" bisa lebih menyakitkan daripada berpisah dengan penuh penghormatan.
Pernyataan "selingkuh tidak bisa diobati" adalah simplifikasi yang mengabaikan kompleksitas relasi manusia.
Ya, perselingkuhan menyakitkan. Ya, ia menghancurkan kepercayaan dan merusak banyak hal.Â
Tapi bukan berarti tak bisa diperbaiki. Dengan komitmen, keterbukaan, dan bantuan yang tepat, luka bisa sembuh.Â
Mungkin tak utuh seperti semula, tapi bisa tumbuh kembali dalam bentuk yang lebih kuat dan dewasa.
Namun, itu semua hanya mungkin jika kedua pihak mau bekerja.Â
Hubungan yang sehat adalah hasil kerja dua orang yang sama-sama ingin menyembuhkan --- bukan hanya salah satu yang berjuang.
Dan jika akhirnya hubungan itu tidak bisa diselamatkan, maka lepaskanlah dengan damai.Â
Karena kadang, penyembuhan sejati bukan tentang memperbaiki yang patah, tapi membiarkan diri tumbuh dari reruntuhannya.
Palembang, 19 Juli 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI