Perselingkuhan, sebuah tindakan yang melanggar kepercayaan dan komitmen dalam hubungan, menyisakan luka yang kerap tak terlihat mata, namun terasa hingga ke sumsum batin.Â
Ia bukan sekadar pengkhianatan fisik, melainkan juga goresan dalam pada dimensi emosional, psikologis, bahkan sosial.Â
Dampaknya meluas: dari trauma batin, implikasi hukum, hingga gangguan kesehatan fisik dan mental.
Mereka yang pernah dikhianati tahu betul: perselingkuhan bukan hanya soal "siapa dengan siapa", tetapi soal hancurnya rasa aman, kehilangan makna cinta, dan runtuhnya kepercayaan---fondasi utama sebuah hubungan.
Secara psikologis, korban perselingkuhan dapat mengalami gejala depresi, kecemasan, dan trauma berkepanjangan.Â
Rasa dikhianati kerap memunculkan pertanyaan reflektif yang menyiksa: "Apakah aku tidak cukup?", "Kenapa dia melakukan ini padaku?"
Trauma tersebut tidak hanya menyerang pikiran, tetapi merembes ke tubuh.Â
Sulit tidur, gangguan makan, hingga penurunan sistem imun adalah sinyal bahwa tubuh ikut menjerit karena luka batin yang belum sembuh.
Di sisi lain, pelaku perselingkuhan juga tidak selalu luput dari penderitaan.Â
Meski ada yang merasa benar dengan keputusan yang diambil, banyak pula yang tenggelam dalam rasa bersalah, konflik batin, dan kehilangan arah.Â