"Kami akan hubungi kembali."
Kalimat yang bikin jantung deg-degan sekaligus jadi bahan PHP nasional tiap musim lowongan kerja dibuka. Kalau HRD adalah tokoh dalam sinetron, maka dia sering berperan sebagai karakter misterius yang muncul sebentar, kasih harapan, lalu hilang ditelan sistem.
Tapi apakah semua HRD begitu? Tentu tidak. Namun, kita tetap harus bicara soal standar ganda ini---karena kalau pelamar kerja dituntut tampil sempurna, mengapa HRD boleh seenaknya?
HRD: Antara Profesionalisme dan Power Trip
Di balik meja wawancara, HRD memegang kuasa menentukan siapa yang "layak" lanjut dan siapa yang "belum cocok." Tapi sayangnya, sebagian HRD masih beroperasi dengan gaya ala barak militer: galak, intimidatif, dan hobi memberi pertanyaan jebakan seolah sedang main kuis Who Wants to be Elitist?
Bayangkan pelamar datang dengan setelan terbaik, CV rapi, penuh semangat. Tapi begitu duduk, HRD-nya mulai mengernyit sejak awal:
"Kenapa kamu resign dari tempat lama?"
"Lulusan kampus mana ya?"
"Hmm... kamu yakin cocok di sini?"
Alih-alih menciptakan ruang aman dan nyaman untuk menggali potensi, yang terjadi justru suasana tegang. Apa tujuannya? Ingin menguji mental? Atau sebenarnya hanya kangen berkuasa?