Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi ini. Mayoritas karet kita masih dijual dalam bentuk mentah (raw rubber), dengan nilai tambah yang rendah. Padahal, jika difokuskan ke hilirisasi, industri karet dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja, menciptakan produk-produk bernilai tinggi, dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Inilah saatnya pemerintah memperlakukan karet sebagai komoditas strategis nasional, bukan sekadar barang dagangan global. Dibanding menebang dan mengganti, mengapa kita tidak mengembangkan dan menambahkan nilai?
Petani Karet: Pasukan yang Sering Terlupakan
Dalam seluruh wacana kebijakan konversi lahan, ada satu kelompok yang kerap tidak diberi ruang bicara: petani karet. Mereka bukan sekadar pekerja lapangan. Mereka adalah penjaga hutan, pelaku ekonomi mikro, sekaligus pewaris pengetahuan lokal. Namun, suara mereka sering tenggelam oleh angka-angka statistik dan logika ekspor-impor.
Ketika harga karet jatuh, tidak ada bailout. Ketika getah tidak laku, tidak ada jaring pengaman sosial. Kini, ketika lahan hendak dikonversi, suara mereka pun terancam tak didengar.
Jika negara benar-benar ingin melakukan transformasi, libatkan petani sebagai subjek utama, bukan sekadar objek proyek.
Solusi Alternatif: Revitalisasi, Bukan Konversi
Daripada mengganti kebun karet dengan sawit, mengapa tidak merevitalisasi kebun karet dengan sistem yang lebih efisien? Misalnya:
1. Peremajaan kebun karet rakyat dengan klon unggul yang lebih produktif dan tahan penyakit.
2. Pelatihan petani agar lebih melek pasar dan teknologi.
3. Insentif industri hilir yang mau menyerap karet petani lokal dan menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi.
4. Diversifikasi komoditas dalam satu kebun, agar risiko ekonomi petani tidak hanya bergantung pada satu jenis tanaman.
Langkah-langkah ini lebih manusiawi, lebih berkelanjutan, dan lebih sesuai dengan semangat kedaulatan pangan dan energi.
Akhir Kata: Jangan Ulangi Kesalahan Masa Lalu
Indonesia sudah terlalu sering tergoda mengganti, alih-alih memperbaiki. Kita pernah membabat kopi demi sawit, mengganti pangan lokal demi beras impor, dan kini---mungkinkah akan mengulangi kesalahan yang sama dengan karet?