Oleh: Harmoko | Rabu, 9 Juli 2025
"Jangan takut berjalan lambat, takutlah jika hanya diam di tempat."---pepatah Tiongkok ini bukan hanya ungkapan indah, tapi sebuah peringatan halus tentang pentingnya gerak, seberapa kecil pun langkah itu.Â
Dalam dunia yang terobsesi dengan kecepatan, keberhasilan instan, dan hasil yang bisa dipamerkan di media sosial, nasihat ini terasa seperti oase yang menyegarkan.Â
Ia mengajak kita merenung: apakah benar ukuran kemajuan hanya bisa dilihat dari kecepatan?
Hari ini, kita hidup di era serba cepat---pesan dibalas dalam hitungan detik, makanan diantar dalam 30 menit, dan hidup orang lain terlihat begitu "cepat sukses" dalam satu unggahan Instagram.Â
Kita mudah merasa tertinggal. Ketika orang lain sudah membeli rumah, ganti mobil, atau lulus S2, kita masih saja sibuk menyicil harapan.Â
Ketika mereka sudah membuka bisnis cabang kedua, kita masih belajar memahami laporan keuangan bulan pertama.Â
Lalu, datanglah rasa rendah diri. Kita mulai mempertanyakan: "Apakah aku terlalu lambat? Apakah aku salah jalan?"
Tapi, pepatah tadi menyadarkan kita: berjalan lambat bukanlah dosa. Justru diam di tempat, itulah yang seharusnya dikhawatirkan.
Setiap orang memiliki garis start dan lintasan yang berbeda. Ada yang lahir dari keluarga berada, dengan akses pendidikan dan modal yang cukup.Â
Ada yang harus merangkak dari nol, bahkan minus.Â
Maka, membandingkan progres kita dengan orang lain ibarat mengadu kecepatan kura-kura dan cheetah---bukan hanya tidak adil, tapi juga tidak masuk akal.
Jika kita terus berjalan, meski perlahan, kita tetap bergerak menuju tujuan.Â
Sebaliknya, jika kita berhenti karena merasa malu dengan kecepatan langkah kita, justru di situlah titik bahaya.Â
Kita terjebak dalam stagnasi, tenggelam dalam rasa minder, dan perlahan kehilangan semangat hidup.
Banyak tokoh besar dalam sejarah membuktikan bahwa kecepatan bukan segalanya. Kolonel Sanders mendirikan KFC saat usianya sudah lewat kepala enam.Â
J.K. Rowling menulis naskah Harry Potter di sela-sela mengurus anak sebagai ibu tunggal, setelah ditolak oleh belasan penerbit.Â
Bahkan tokoh-tokoh spiritual seperti Buddha atau Nabi Muhammad SAW melewati proses refleksi dan kontemplasi panjang sebelum akhirnya menjalankan misi besarnya.
Tak ada yang "terlambat" jika kita konsisten. Kunci utamanya adalah tidak berhenti.
Kita sering terjebak pada hasil: lulus cepat, kerja cepat, kaya cepat. Padahal, proses adalah bagian paling bernilai dalam perjalanan.Â
Di situlah kita belajar ketekunan, kesabaran, dan ketangguhan. Justru ketika kita berjalan lambat, kita punya lebih banyak waktu untuk merenung, mengevaluasi, dan tumbuh secara mendalam.
Bayangkan belajar bersepeda: mereka yang terburu-buru akan jatuh lebih sering, sementara yang belajar perlahan-lahan justru memiliki kontrol lebih baik. Hidup pun begitu.
Berjalan lambat memberi ruang bagi kebijaksanaan untuk tumbuh, bukan sekadar keterampilan teknis.Â
Proses panjang juga sering melahirkan empati karena kita tahu rasanya susah. Dan dari situlah karakter kuat terbentuk.
Sebaliknya, diam di tempat seringkali disamarkan oleh "zona nyaman." Kita tahu harus belajar hal baru, tapi memilih menunda.Â
Kita tahu perlu keluar dari pekerjaan yang stagnan, tapi takut memulai usaha. Kita tahu perlu berubah, tapi terlalu takut gagal.
Diam memang terlihat aman. Tidak ada risiko. Tidak ada kerugian langsung. Tapi justru karena itulah ia berbahaya.Â
Lama-lama kita mati rasa, kehilangan gairah, dan hidup hanya "berjalan di tempat" secara harfiah---menjalani hari demi hari tanpa pertumbuhan.
Orang yang diam di tempat akan sulit melihat potensi dirinya. Ia hidup di bawah kapasitasnya.Â
Dan yang paling menyedihkan: ia akan lebih menyesal daripada mereka yang pernah mencoba tapi gagal.
Tak perlu langsung membuat gebrakan besar. Langkah kecil pun tak mengapa. Mulailah dari membaca satu halaman buku setiap hari. Mencatat rencana kecil.Â
Mencoba satu ide bisnis meskipun belum sempurna. Bergerak sekecil apa pun tetap lebih baik daripada tidak bergerak sama sekali.
Pepatah Tiongkok ini seakan memberi izin pada kita untuk tidak sempurna, untuk tidak cepat, selama kita tetap melangkah.Â
Ia mengingatkan bahwa progres adalah tentang keberlanjutan, bukan kecepatan.
Dalam banyak tradisi spiritual, bergerak adalah simbol kehidupan. Air yang mengalir itu jernih, sementara yang diam cenderung keruh.Â
Tubuh manusia pun jika tak digerakkan, akan melemah. Jiwa yang tak diberi tantangan akan kehilangan gairahnya.
Maka, dalam konteks ini, "takut diam di tempat" juga bisa dimaknai sebagai takut kehilangan makna hidup.Â
Karena hidup sejatinya adalah perjalanan. Dan selama kita masih punya arah, maka kita belum tersesat.
Hari ini, mungkin kamu merasa berjalan terlalu lambat. Mungkin pencapaianmu belum seperti yang kamu impikan.Â
Mungkin orang lain terlihat jauh lebih cepat, lebih hebat. Tapi ingatlah: kamu masih berjalan. Dan itu sudah luar biasa.
Jangan takut jika orang lain sudah sampai duluan. Tak semua orang ingin berakhir di tempat yang sama.Â
Dan tak semua jalan harus dilalui dengan berlari. Kadang, justru dalam langkah-langkah kecil dan tenang, kita menemukan makna terdalam dari hidup.
Bergeraklah. Sekecil apa pun. Karena hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai.Â
Tapi tentang siapa yang tetap berjalan, meski angin menerpa dan tanah terasa berat.
Dan seperti pepatah bijak itu: "Jangan takut berjalan lambat. Takutlah jika hanya diam di tempat."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI