Oleh: Harmoko | Sabtu, 5 Juli 2025
Enam dekade bukan waktu yang singkat untuk melihat bagaimana pendidikan di Indonesia bertahan, tumbuh, dan tersendat. Dalam setiap fase perjalanan bangsa, pendidikan tak pernah steril dari gejolak. Mulai dari krisis politik, konflik sosial, hingga pandemi global---semuanya pernah mengguncang dunia pendidikan kita. Harian Kompas, dalam rekam jejak jurnalismenya sejak 1965, telah menjadi saksi dan pencatat setia pergulatan ini.
Artikel bertajuk "60 Tahun Mencatat Indonesia: Pendidikan, Krisis, dan Konflik" bukan sekadar dokumentasi sejarah, tetapi juga cermin besar yang mengajak kita menatap wajah pendidikan bangsa---apa adanya.
Pendidikan Era Orde: Dari Idealisme hingga Sentralisasi
Pada masa Orde Lama, pendidikan dibingkai dalam semangat revolusi dan idealisme nasional. Namun, idealisme itu sering terjebak dalam retorika ideologi. Dunia pendidikan lebih banyak digunakan sebagai alat perjuangan politik dibanding upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Memasuki Orde Baru, pendidikan menjadi proyek sentralisasi. Semua harus seragam---dari seragam putih-merah hingga isi buku pelajaran. Stabilitas politik menjadi prioritas utama, bahkan jika itu berarti menekan kebebasan berpikir. Guru dituntut mengajar berdasarkan narasi tunggal yang dianggap "aman", dan siswa hanya menjadi objek hafalan, bukan subjek pembelajaran.
Reformasi: Otonomi, Tapi Tak Selalu Merdeka
Reformasi membawa angin segar. Otonomi daerah memberi ruang bagi inovasi pendidikan lokal. Kurikulum mulai disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Namun, otonomi ini juga membuka celah ketimpangan. Daerah dengan anggaran besar dan kepemimpinan visioner bisa melesat. Sementara daerah tertinggal justru semakin tertinggal.
Di sinilah persoalan muncul: siapa yang menjamin kesetaraan pendidikan? Apakah negara hanya hadir sebagai penyusun kebijakan pusat, tanpa daya menegakkan keadilan di lapangan?
Krisis dan Pendidikan: Ketika Bangku Sekolah Menjadi Korban
Setiap kali bangsa ini dilanda krisis, pendidikan hampir selalu menjadi "korban pertama". Saat krisis moneter 1998, banyak sekolah swasta gulung tikar, anak-anak dari keluarga miskin putus sekolah, dan guru honorer kehilangan penghasilan. Krisis bukan hanya soal ekonomi, tapi juga menghancurkan harapan ribuan siswa.