Hari itu, matahari belum tinggi saat Ibu Yohana mengayuh sepeda tuanya ke pasar. Dua ikat pisang, setengah karung jagung, dan seikat daun kelor ia bawa dari rumah. Bukan untuk dimakan, tapi untuk dijual. Semua demi satu tujuan: menebus biaya masuk sekolah negeri untuk anak bungsunya yang baru lulus SMP.
"Katanya sekolah negeri gratis," katanya lirih. "Tapi kenapa kami tetap harus bayar sampai jutaan?"
Pertanyaan Ibu Yohana mewakili ribuan orangtua di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang baru-baru ini disorot dalam laporan Kompas. Di tengah impitan ekonomi, mereka justru dibebani daftar panjang pungutan dari sekolah negeri. Seragam, uang sumbangan, pembinaan, atribut sekolah, bahkan penginapan saat daftar ulang---semuanya berderet seperti daftar belanja lebaran.
---
Pendidikan Gratis: Retorika yang Gagal Mendarat
Menurut temuan Kompas, beberapa SMA dan SMK negeri di NTT mengenakan pungutan senilai Rp2--4 juta per siswa baru. Di SMAN 5 Kupang, misalnya, total biaya yang harus dibayar mencapai Rp2,2 juta, termasuk "sumbangan standar" sebesar Rp900 ribu. Di SMKN 2 Kupang, total dana dari orangtua mencapai Rp4,3 miliar---hampir menyamai dana BOS yang mereka terima dari pemerintah pusat.
Ironisnya, semua ini terjadi di provinsi dengan angka kemiskinan lebih dari 20 persen. Bayangkan, satu dari lima penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, namun masih harus "diperas" demi akses pendidikan.
Di mana letak keadilan sosial itu?
---
Narasi Lama, Luka Baru