Tiap bangsa besar memiliki titik pijaknya. Bagi Indonesia, Pegangsaan Timur 56 bukan sekadar alamat. Ia adalah tempat bangsa ini dilahirkan dari keberanian, bukan hasil undian sejarah. Maka ketika kita memperingati Bulan Bung Karno di sana, sesungguhnya kita sedang menziarahi nurani kemerdekaan.
Merayakan, Bukan Sekadar Menghafal
Juni bukan hanya bulan ke-enam dalam kalender. Bagi sebagian rakyat Indonesia, terutama mereka yang masih percaya bahwa nasionalisme bukan sekadar aksesoris upacara, bulan ini menyimpan getaran kuat. Bung Karno lahir pada 6 Juni, wafat pada 21 Juni, dan pada bulan ini pula Pancasila lahir ke bumi Indonesia---tepatnya 1 Juni 1945. Maka wajar bila setiap Juni ditahbiskan sebagai "Bulan Bung Karno."
Namun perayaan yang benar bukan sekadar menghafal tanggal. Bukan pula hanya menaruh bunga di pusara atau mengutip kata-katanya untuk konten medsos. Perayaan yang sejati adalah membangkitkan kembali semangat yang mendasari perjuangannya---yakni keberanian berpikir, keteguhan bersikap, dan keyakinan bahwa Indonesia harus merdeka dalam arti yang penuh, bukan setengah hati.
Tugu Proklamasi: Tempat Sejarah Menyapa
Taman Proklamasi di kawasan Menteng, Jakarta, bukan sekadar taman kota. Ia adalah halaman sejarah. Di tempat inilah, Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945. Tapi sejarah kadang punya ironi: bangunan asli tempat Soekarno membacakan proklamasi malah dihancurkan pada era Orde Lama, dengan alasan penataan kota. Monumen yang sempat dibangun oleh para pejuang perempuan pun pernah dihancurkan dan dibangun ulang.
Kini, di taman itu berdiri tiga monumen utama:
1. Tugu Peringatan Satu Tahun Republik (atau dikenal juga Tugu Proklamasi), diinisiasi oleh para perempuan pejuang seperti Jo Masdani dan kelompoknya.
2. Tugu Petir, tiang tinggi menjulang dengan simbol petir di atasnya, menandai tempat Bung Karno berdiri saat membacakan proklamasi.
3. Monumen Proklamator Soekarno-Hatta, patung perunggu yang monumental karya Nyoman Nuarta dan kolega.