Di tengah harga properti yang melambung dan gaya hidup yang terus berevolusi, muncul fenomena baru dalam dunia hunian urban: co-living. Bagi sebagian orang, ini adalah jawaban modern atas tekanan ekonomi dan kebutuhan sosial. Bagi yang lain, co-living tak lebih dari pelarian sementara dari kenyataan bahwa membeli rumah kini nyaris seperti mengejar pelangi---indah dilihat, tapi sulit digapai.
Dari Rumah Impian ke Ruang Berbagi
Dulu, rumah menjadi simbol kemapanan. Generasi orang tua kita bekerja bertahun-tahun demi bisa punya sepetak tanah dan bangunan sebagai bukti keberhasilan. Tapi generasi hari ini---terutama milenial dan Gen Z---menghadapi kenyataan berbeda. Harga rumah makin tidak rasional dibanding penghasilan rata-rata. Uang muka saja bisa sebesar tabungan lima tahun. Sementara itu, biaya hidup di kota terus meningkat, dan gaya hidup fleksibel makin diminati.
Dalam situasi inilah co-living hadir sebagai opsi yang menarik. Konsep ini menawarkan hunian dengan fasilitas bersama---dapur, ruang kerja, bahkan gym dan kafe---dengan biaya yang lebih terjangkau dibanding menyewa apartemen sendiri. Selain itu, co-living menawarkan nilai tambah: komunitas.
Hunian Bukan Lagi Sekadar Atap
Di banyak kota besar, terutama Jakarta, Bandung, dan Surabaya, muncul operator co-living seperti Rukita, Cove, dan Flok Living. Mereka tak sekadar menyewakan kamar, tapi menciptakan lingkungan yang mendukung interaksi sosial: event komunitas, kelas kebugaran, hingga networking session ala startup.
Dalam praktiknya, co-living bisa terasa seperti urban boarding house versi premium. Penghuni bisa datang dan pergi dengan mudah, tidak perlu repot mengurus listrik, Wi-Fi, hingga kebersihan kamar. Bahkan, banyak yang memilih co-living karena faktor convenience ini, bukan karena terpaksa.
Namun tetap saja, ada pertanyaan besar yang menggantung: apakah co-living benar-benar solusi jangka panjang, atau hanya jalan pintas yang menghibur?
Baca juga: Rumah Milenial: Mimpi di Ujung Cicilan?Refleksi: Gaya Hidup atau Tanda Zaman?
Co-living bisa jadi bentuk adaptasi. Ketika rumah tak lagi terjangkau, orang mencari bentuk hunian yang sesuai dengan kondisi mereka. Daripada memaksakan diri mengambil KPR 25 tahun dan mengorbankan kualitas hidup, mereka memilih kenyamanan yang fleksibel.