Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Co-Living: Solusi Masa Kini atau Pelarian Sementara?

29 Juni 2025   15:00 Diperbarui: 29 Juni 2025   15:00 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI - Dokumentasi pribadi diolah dengan sistem generative AI 

Di tengah harga properti yang melambung dan gaya hidup yang terus berevolusi, muncul fenomena baru dalam dunia hunian urban: co-living. Bagi sebagian orang, ini adalah jawaban modern atas tekanan ekonomi dan kebutuhan sosial. Bagi yang lain, co-living tak lebih dari pelarian sementara dari kenyataan bahwa membeli rumah kini nyaris seperti mengejar pelangi---indah dilihat, tapi sulit digapai.

Dari Rumah Impian ke Ruang Berbagi

Dulu, rumah menjadi simbol kemapanan. Generasi orang tua kita bekerja bertahun-tahun demi bisa punya sepetak tanah dan bangunan sebagai bukti keberhasilan. Tapi generasi hari ini---terutama milenial dan Gen Z---menghadapi kenyataan berbeda. Harga rumah makin tidak rasional dibanding penghasilan rata-rata. Uang muka saja bisa sebesar tabungan lima tahun. Sementara itu, biaya hidup di kota terus meningkat, dan gaya hidup fleksibel makin diminati.

Dalam situasi inilah co-living hadir sebagai opsi yang menarik. Konsep ini menawarkan hunian dengan fasilitas bersama---dapur, ruang kerja, bahkan gym dan kafe---dengan biaya yang lebih terjangkau dibanding menyewa apartemen sendiri. Selain itu, co-living menawarkan nilai tambah: komunitas.

Hunian Bukan Lagi Sekadar Atap

Di banyak kota besar, terutama Jakarta, Bandung, dan Surabaya, muncul operator co-living seperti Rukita, Cove, dan Flok Living. Mereka tak sekadar menyewakan kamar, tapi menciptakan lingkungan yang mendukung interaksi sosial: event komunitas, kelas kebugaran, hingga networking session ala startup.

Dalam praktiknya, co-living bisa terasa seperti urban boarding house versi premium. Penghuni bisa datang dan pergi dengan mudah, tidak perlu repot mengurus listrik, Wi-Fi, hingga kebersihan kamar. Bahkan, banyak yang memilih co-living karena faktor convenience ini, bukan karena terpaksa.

Namun tetap saja, ada pertanyaan besar yang menggantung: apakah co-living benar-benar solusi jangka panjang, atau hanya jalan pintas yang menghibur?

Refleksi: Gaya Hidup atau Tanda Zaman?

Co-living bisa jadi bentuk adaptasi. Ketika rumah tak lagi terjangkau, orang mencari bentuk hunian yang sesuai dengan kondisi mereka. Daripada memaksakan diri mengambil KPR 25 tahun dan mengorbankan kualitas hidup, mereka memilih kenyamanan yang fleksibel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun