Generasi milenial, tulang punggung ekonomi masa kini, sering kali dihadapkan pada realita yang pahit dan berulang: harga rumah terus meroket, sementara penghasilan jalan santai. Tak heran jika muncul celetukan khas anak kos, "Punya rumah? Ya... nanti, kalau menang undian atau warisan."
Tapi benarkah mimpi itu harus berhenti di ujung tawa getir?
Anggapan bahwa rumah hanyalah ilusi bagi milenial sebenarnya terlalu pesimistis. Memang, realitasnya tak semudah "asal rajin nabung". Tapi dengan strategi yang tepat, kebiasaan finansial yang sehat, dan keberanian untuk keluar dari jebakan gaya hidup konsumtif, rumah bukan lagi mimpi kosong---melainkan target yang bisa dicicil, satu langkah demi satu langkah.
Tantangan tentu tak bisa diabaikan. Harga tanah naik tiap tahun, inflasi bikin uang seperti menguap, dan suku bunga KPR sering main ayunan. Kehidupan di kota besar pun mahalnya bukan main---bahkan biaya parkir bisa bikin dompet diet paksa. Tapi, menyerah bukan opsi.
Kuncinya ada pada perencanaan keuangan. Mencatat pengeluaran, memangkas biaya-biaya yang "nggak terasa tapi menguras", dan menyusun anggaran yang masuk akal adalah pondasi awal. Menabung secara konsisten, walau hanya Rp20.000 per minggu, tetap berarti. Itu bukan soal nominal, tapi soal kebiasaan.
Investasi juga layak dilirik. Milenial zaman sekarang punya banyak pilihan: dari reksa dana pasar uang sampai emas digital. Yang penting, uang tidak tidur. Karena harga rumah tak menunggu---dia terus naik, pelan-pelan tapi pasti.
Selain itu, jangan lewatkan peluang dari skema pembiayaan pemerintah. Program KPR subsidi seperti FLPP dan BP2BT bisa jadi solusi bagi milenial dengan penghasilan terbatas. Sayangnya, informasi tentang ini sering tertutup oleh iklan properti yang lebih glamor. Padahal, inilah celah logis menuju rumah impian. Bandingkan penawaran bank, cari suku bunga rendah, dan jangan ragu bertanya langsung ke developer. Malu bertanya, bisa terus ngontrak.
Namun, memiliki rumah juga soal prioritas. Tak harus langsung beli rumah dua lantai di tengah kota. Bisa dimulai dari rumah sederhana di pinggiran---yang penting sesuai kemampuan, dan fungsional. Rumah pertama bukan soal pamer lokasi, tapi tempat berlindung yang bikin tenang.
Ambil contoh Rina, 29 tahun, karyawan swasta di Jakarta. Setelah tujuh tahun menabung dan ikut program KPR subsidi, ia berhasil membeli rumah tipe 36 di Depok. Bukan di SCBD, tapi cukup untuk hidup mandiri. "Yang penting punya dulu, upgrade nanti," katanya sambil tersenyum bangga.
Kesimpulannya? Rumah milenial bukan ilusi, tapi juga bukan instan. Mimpi itu ada di ujung cicilan---dan bisa digapai dengan disiplin, strategi, serta mindset yang realistis. Jangan buru-buru, tapi jangan juga diam di tempat.