Simulasi alur layanan pra-keberangkatan yang seharusnya menjadi tulang punggung koordinasi nyaris tidak dilakukan secara menyeluruh.Â
Tidak ada uji coba sistem dengan skenario nyata, tidak ada simulasi transportasi, penginapan, hingga pemantauan kesehatan jamaah.Â
Yang terjadi kemudian adalah improvisasi massal di tengah padatnya ibadah.
Kisah memilukan datang dari sejumlah jamaah yang kehilangan koper selama lebih dari 24 jam sejak tiba di Mekkah.Â
Ada pula lansia yang terpisah dari pendamping karena hotel berbeda, padahal keduanya berasal dari satu kloter.Â
Kesalahan teknis ini terjadi karena data penempatan yang tidak akurat serta tidak sinkron antara tim Indonesia dan pihak syarikah.
Namun puncak dari semua kekacauan terjadi saat pergerakan dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina (Armuzna).Â
Bus jemputan tidak kunjung datang tepat waktu.Â
Bahkan ada jamaah yang harus berjalan kaki berjam-jam, sebagian sampai 24 jam, karena tidak dijemput sesuai jadwal.Â
Ini bukan hanya soal kelelahan fisik, tapi juga mengancam keselamatan, khususnya bagi lansia dan jamaah dengan penyakit bawaan.
Di Mina, masalah lain menyambut: tenda yang penuh sesak.Â