Ini mencerminkan warisan patriarki yang masih kuat, di mana suara perempuan dianggap tidak cukup penting atau kredibel dalam percakapan soal kebijakan publik.
Judul "Mata-mata di Kepala" pun memberi tafsir tambahan: bahwa pengawasan tidak selalu datang dari luar, tapi bisa ditanamkan dalam kepala setiap individu melalui doktrin, ketakutan, atau tekanan sosial.Â
Masyarakat diajarkan untuk menyensor diri sendiri. Dengan kata lain, kebebasan bersyarat itu sebenarnya adalah bentuk pengendalian yang halus tapi efektif.
Pernyataan ini, dalam konteks sosial-politik, adalah sindiran terhadap rezim yang membatasi ruang dialog, meminggirkan kritik, dan menciptakan jurang antara rakyat dan negara.Â
Ia mengajak kita merenung: siapa sebenarnya pemilik sah negara ini? Apakah rakyat hanya berhak hidup dalam diam, ataukah mereka punya hak untuk turut bersuara dan mengawasi jalannya kekuasaan?
Jawabannya bergantung pada kita---apakah kita akan tetap tunduk pada "mata-mata" dalam kepala kita, atau memilih untuk menjadi warga yang benar-benar merdeka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI