"Ibu bebas mengerjakan apa yang Ibu mau. Asal jangan mencampuri urusan negara."
Terdengar seperti anjuran biasa, namun sesungguhnya menyimpan kritik sosial dan politik yang tajam.Â
Pernyataan ini menyiratkan bahwa kebebasan individu diberikan secara terbatas---selama tidak menyentuh ranah kekuasaan atau urusan negara.Â
Di balik bentuknya yang sederhana, kalimat ini menghadirkan ironi yang kuat: kebebasan diklaim diberikan, tapi dengan syarat yang menegasikan makna kebebasan itu sendiri.
Jika ditelaah lebih dalam, kalimat tersebut mencerminkan pandangan elitis dan antikritik.Â
Negara, dalam hal ini, diposisikan sebagai domain tertutup yang hanya layak disentuh oleh pihak tertentu yang dianggap punya otoritas.Â
Rakyat, terlebih perempuan yang dalam kalimat ini dilambangkan oleh kata "Ibu," didorong untuk tetap berada di wilayah domestik---mengurus rumah, menjalani hidup pribadi, namun tidak perlu ikut campur dalam urusan publik atau politik.Â
Pesan ini secara tidak langsung menyingkirkan warga dari diskursus kebangsaan, dan menjadikan negara sebagai entitas yang terpisah dari rakyatnya.
Lebih jauh, penggunaan kata "Ibu" memperkuat kesan bias gender dalam konteks partisipasi politik.Â
Seolah-olah, ibu---yang secara historis dilekatkan pada peran domestik---tidak layak bersuara tentang negara.Â
Ini mencerminkan warisan patriarki yang masih kuat, di mana suara perempuan dianggap tidak cukup penting atau kredibel dalam percakapan soal kebijakan publik.
Judul "Mata-mata di Kepala" pun memberi tafsir tambahan: bahwa pengawasan tidak selalu datang dari luar, tapi bisa ditanamkan dalam kepala setiap individu melalui doktrin, ketakutan, atau tekanan sosial.Â
Masyarakat diajarkan untuk menyensor diri sendiri. Dengan kata lain, kebebasan bersyarat itu sebenarnya adalah bentuk pengendalian yang halus tapi efektif.
Pernyataan ini, dalam konteks sosial-politik, adalah sindiran terhadap rezim yang membatasi ruang dialog, meminggirkan kritik, dan menciptakan jurang antara rakyat dan negara.Â
Ia mengajak kita merenung: siapa sebenarnya pemilik sah negara ini? Apakah rakyat hanya berhak hidup dalam diam, ataukah mereka punya hak untuk turut bersuara dan mengawasi jalannya kekuasaan?
Jawabannya bergantung pada kita---apakah kita akan tetap tunduk pada "mata-mata" dalam kepala kita, atau memilih untuk menjadi warga yang benar-benar merdeka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI