"Ibu bebas mengerjakan apa yang Ibu mau. Asal jangan mencampuri urusan negara."
Terdengar seperti anjuran biasa, namun sesungguhnya menyimpan kritik sosial dan politik yang tajam.Â
Pernyataan ini menyiratkan bahwa kebebasan individu diberikan secara terbatas---selama tidak menyentuh ranah kekuasaan atau urusan negara.Â
Di balik bentuknya yang sederhana, kalimat ini menghadirkan ironi yang kuat: kebebasan diklaim diberikan, tapi dengan syarat yang menegasikan makna kebebasan itu sendiri.
Jika ditelaah lebih dalam, kalimat tersebut mencerminkan pandangan elitis dan antikritik.Â
Negara, dalam hal ini, diposisikan sebagai domain tertutup yang hanya layak disentuh oleh pihak tertentu yang dianggap punya otoritas.Â
Rakyat, terlebih perempuan yang dalam kalimat ini dilambangkan oleh kata "Ibu," didorong untuk tetap berada di wilayah domestik---mengurus rumah, menjalani hidup pribadi, namun tidak perlu ikut campur dalam urusan publik atau politik.Â
Pesan ini secara tidak langsung menyingkirkan warga dari diskursus kebangsaan, dan menjadikan negara sebagai entitas yang terpisah dari rakyatnya.
Lebih jauh, penggunaan kata "Ibu" memperkuat kesan bias gender dalam konteks partisipasi politik.Â
Seolah-olah, ibu---yang secara historis dilekatkan pada peran domestik---tidak layak bersuara tentang negara.Â