Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemiskinan yang Diwariskan: Menemukan Jalan untuk Memutus Rantai Tak Kasat Mata

25 Mei 2025   20:35 Diperbarui: 25 Mei 2025   20:35 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah yang disebut sebagai kemiskinan struktural. Ia adalah belenggu tak kasat mata yang mencengkeram kaki anak-anak bangsa. 

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jika tidak dibarengi dengan pemerataan akses dan investasi pada sumber daya manusia, justru memperlebar jurang antara si miskin dan si kaya.

Mereka yang lahir di keluarga berkecukupan memiliki keunggulan sejak awal: pendidikan berkualitas, gizi seimbang, lingkungan yang mendukung, dan jejaring sosial yang luas. 

Sedangkan mereka yang lahir dari keluarga miskin, harus berjuang sepuluh kali lipat hanya untuk mencapai titik awal yang sama. Ini bukan tentang malas atau rajin. 

Ini tentang struktur dan sistem yang tidak adil.

Potensi yang Terkubur

Di balik statistik kemiskinan, tersembunyi jutaan potensi yang tak pernah tumbuh. Ada anak-anak jenius yang tidak pernah menyentuh komputer. 

Ada pemikir hebat yang harus putus sekolah demi membantu orang tua mencari nafkah. Ada calon pemimpin yang tak pernah mengenal ruang diskusi karena terjebak dalam lingkaran kerja kasar sejak remaja.

Setiap anak yang lahir ke dunia membawa kemungkinan. Tapi dunia sering kali hanya memberi kesempatan kepada mereka yang sudah berada di jalur cepat. 

Yang lainnya? Mereka harus membangun jalan sendiri, di atas tanah yang tak rata dan penuh duri.

Namun, sejarah membuktikan bahwa perubahan itu mungkin. Beberapa dari mereka yang terlahir dalam kemiskinan mampu membalik takdir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun