Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Money

Antusiasme Berlebihan dan Koreksi Realitas: Belajar dari Pasar Saham Awal 2000-an

25 Mei 2025   10:44 Diperbarui: 25 Mei 2025   10:44 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pasar Saham | Dokumentasi Pribadi | Diolah dengan Sistem Generative AI 

Pada awal dekade 2000-an, dunia investasi menyaksikan sebuah fenomena yang menggugah kesadaran kolektif: betapa antusiasme yang berlebihan dalam pasar saham bisa berubah menjadi mimpi buruk kolektif.

Gelombang euforia yang muncul pada akhir 1990-an, terutama dipicu oleh ledakan teknologi dan internet, menciptakan ekspektasi keuntungan yang tidak realistis dan mengabaikan dasar-dasar investasi yang sehat. Koreksi pasar yang menyusul kemudian tidak hanya menguji ketahanan portofolio, tetapi juga mengingatkan kembali pada nilai-nilai dasar yang diajarkan oleh tokoh-tokoh legendaris seperti Benjamin Graham.

Pada tahun 2002, level keuntungan dari dana pensiun perusahaan dalam indeks Standard & Poor's 500 mencapai rekor tertinggi, yaitu 9,2%. Namun, di balik angka ini tersembunyi realitas getir: antusiasme berlebihan telah membawa banyak investor pada jebakan ekspektasi yang keliru. Data dari Gallup menunjukkan bahwa meskipun harapan pengembalian investasi saham setahun hanya tinggal 7%, para investor tetap membeli saham dengan harga yang 50% lebih rendah dari harga tertingginya pada tahun 2000. Ini adalah ironi klasik: ketika pasar turun, harga menjadi menarik secara logika, tetapi ekspektasi tetap tinggi seolah masa keemasan akan segera kembali.

Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu jawabannya terletak pada psikologi massa. Ketika banyak orang percaya bahwa pasar akan terus naik, individu-individu pun terseret dalam arus yang sama. Mereka tahu seharusnya membeli saat harga turun dan menjual saat harga tinggi, tetapi secara praktis sering melakukan hal sebaliknya. Dalam kondisi seperti ini, nasihat Benjamin Graham kembali relevan: hindari 'aturan kebaikan' jangka pendek dan bersandarlah pada penilaian fundamental yang logis.

Graham, dalam karyanya yang melegenda The Intelligent Investor, tidak hanya memberikan rumus atau teknik, tetapi menanamkan sikap mental yang rasional dalam menghadapi pasar. Ia menyarankan investor untuk tidak terpaku pada pergerakan jangka pendek, melainkan bertanya pertanyaan yang sederhana namun mendalam: "Berapa nilai intrinsik suatu saham atau aset, dan apakah saya membelinya dengan harga yang masuk akal?" Pendekatan ini bertolak belakang dengan spekulasi yang didasarkan pada tren atau emosi.

Dalam kondisi koreksi pasar, banyak pakar dan analis mulai mengubah prediksi mereka. Dari optimisme berlebihan, mereka beralih ke pesimisme akut. Sebagian memperkirakan bahwa investor hanya akan menerima imbal hasil rendah untuk satu dekade ke depan, bahkan ada yang menyebutkan hasil negatif selama 10 tahun. Proyeksi ini mungkin terdengar ekstrem, tetapi ia mencerminkan pentingnya penyesuaian ekspektasi dengan realitas.

Kinerja pasar modal, pada akhirnya, tidaklah bersifat magis atau spekulatif. Ia bergantung pada tiga faktor fundamental:

1. Pertumbuhan nyata, yaitu peningkatan laba dan dividen dari perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa;

2. Pertumbuhan inflasi, yaitu kenaikan harga-harga secara umum, yang mempengaruhi nilai riil dari pengembalian investasi;

3. Perubahan valuasi pasar, yakni sejauh mana investor bersedia membayar lebih atau kurang untuk setiap unit laba (misalnya price-to-earnings ratio).

Ketiga faktor inilah yang membentuk dasar perhitungan pengembalian jangka panjang. Jika laba perusahaan tumbuh 5% per tahun, inflasi 2%, dan valuasi pasar tetap, maka pengembalian total jangka panjang secara teoritis berada di kisaran 7% per tahun. Namun, jika valuasi naik (karena euforia), maka pengembalian bisa lebih tinggi---tetapi ini seringkali tidak berkelanjutan.

Pelajaran dari awal 2000-an tetap relevan hari ini, terutama dalam konteks pasar yang semakin didominasi oleh investor ritel, platform digital, dan spekulasi berbasis media sosial. Tren baru seperti saham meme (meme stocks), spekulasi aset kripto, dan investasi impulsif dalam startup teknologi dengan valuasi fantastis mencerminkan siklus lama yang kembali terulang dengan wajah baru. Antusiasme dan ketamakan mendorong harga naik jauh melebihi nilai riil, dan ketika koreksi datang, banyak investor kehilangan lebih dari sekadar uang---mereka kehilangan keyakinan.

Dalam situasi seperti ini, kembali ke prinsip-prinsip Graham menjadi krusial. Seorang investor yang bijak akan melihat saham sebagai bagian dari kepemilikan perusahaan, bukan sekadar angka di layar. Ia akan menilai potensi pendapatan jangka panjang, mempertimbangkan margin of safety, dan tidak akan terburu-buru membeli hanya karena takut tertinggal (FOMO---fear of missing out).

Selain itu, investor yang rasional memahami bahwa pasar bergerak dalam siklus. Ada masa-masa di mana ekspektasi terlalu tinggi dan harga naik melampaui nilai wajar, dan ada masa-masa pesimisme yang membuat harga turun lebih rendah dari yang seharusnya. Kecerdasan investor terletak pada kemampuannya membaca siklus ini tanpa menjadi budak emosi.

Konteks ekonomi global saat ini juga menambah kerumitan. Ketidakpastian geopolitik, suku bunga yang fluktuatif, dan dinamika rantai pasok global pasca-pandemi turut mempengaruhi ekspektasi pasar. Namun, terlepas dari kompleksitas ini, dasar-dasar investasi tidak berubah: pengembalian yang sehat berasal dari fundamental yang kuat, bukan dari spekulasi kosong.

Untuk para investor Indonesia, pelajaran ini juga berlaku. Pasar modal Indonesia, meskipun belum sedalam dan sekompleks Amerika Serikat, tetap menghadirkan dinamika yang mirip. Periode euforia dalam sektor digital, teknologi finansial, atau bahkan pertambangan nikel, bisa menjerumuskan investor pada valuasi yang tidak masuk akal. Koreksi tajam dalam saham-saham tersebut adalah pengingat penting bahwa nilai sejati tidak selalu tampak dalam lonjakan harga jangka pendek.

Sebaliknya, perusahaan dengan fundamental kokoh, tata kelola yang baik, dan pertumbuhan stabil seringkali diabaikan karena tidak 'seksi'. Namun, justru di situlah peluang jangka panjang berada. Dalam dunia yang semakin volatil dan bising, investor sejati adalah mereka yang bisa menahan godaan arus utama dan tetap berpegang pada prinsip.

Kesimpulan:

Pasar saham memang menawarkan potensi keuntungan, tetapi juga mengandung risiko yang tak kecil, terutama jika investor terjebak dalam antusiasme berlebihan. Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa kesabaran, disiplin, dan penilaian yang rasional adalah kunci keberhasilan. Seperti yang diajarkan Benjamin Graham, investasi bukan tentang menebak masa depan, melainkan tentang memahami nilai dan berani bersabar menunggu saat yang tepat.

Di tengah dinamika pasar yang terus berubah, kembali ke dasar bisa menjadi strategi paling bijak. Karena pada akhirnya, pasar memang akan naik dan turun, tetapi prinsip yang kuat akan tetap menjadi penuntun yang andal.

Sumber: Indonesia The Intelligent Investor 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun