Menjamin yang Rentan: Urgensi Perlindungan Sosial bagi 1,7 Juta Pengemudi Ojol
Oleh: Harmoko | Jum'at, 9 Mei 2025
Dalam era ekonomi digital yang semakin berkembang, peran pekerja informal seperti pengemudi ojek online (ojol) menjadi semakin krusial dalam menopang mobilitas masyarakat dan aktivitas ekonomi. Namun, ironisnya, di balik kontribusi signifikan mereka, perlindungan sosial terhadap para pekerja ini masih sangat minim. Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 1,7 juta pengemudi ojol di Indonesia belum terdaftar dalam program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek). Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan yang serius dalam sistem perlindungan tenaga kerja di Indonesia.
Realitas Buram di Balik Helm Hijau
Seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna layanan transportasi daring, populasi pengemudi ojol pun tumbuh pesat. Mereka bekerja dengan sistem kemitraan bersama perusahaan aplikasi, namun tidak memiliki status sebagai pekerja tetap. Konsekuensinya, mereka kerap tidak mendapat hak-hak normatif yang lazim diterima oleh pekerja formal, termasuk jaminan sosial ketenagakerjaan yang mencakup perlindungan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan pensiun.
Bekerja di jalanan menghadapkan pengemudi ojol pada berbagai risiko setiap hari, mulai dari kecelakaan lalu lintas, gangguan kesehatan, hingga kehilangan pendapatan akibat kondisi cuaca atau peristiwa luar biasa. Ketika insiden tak terduga terjadi, ketidakikutsertaan dalam program jaminan sosial membuat mereka dan keluarganya sangat rentan terhadap tekanan ekonomi.
Mengapa Jamsostek Penting?
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bukanlah sekadar instrumen administratif, melainkan jaring pengaman ekonomi yang memberikan rasa aman kepada pekerja. Bagi pengemudi ojol, keikutsertaan dalam program ini dapat memberikan:
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK): Melindungi mereka ketika mengalami kecelakaan selama bekerja, termasuk biaya pengobatan dan kompensasi kehilangan kemampuan kerja.
2. Jaminan Kematian (JK): Memberikan santunan kepada ahli waris jika terjadi kematian non-kecelakaan.
3. Jaminan Hari Tua (JHT): Menyediakan tabungan untuk masa depan.
4. Jaminan Pensiun (JP): Memberikan penghasilan pasca masa produktif.
Tanpa perlindungan ini, beban ekonomi akibat kecelakaan atau musibah lainnya sepenuhnya harus ditanggung sendiri. Hal ini berpotensi menciptakan kemiskinan baru di kalangan pekerja gig economy.
Tanggung Jawab Siapa?
Salah satu penyebab utama tidak tersentuhnya para pengemudi ojol oleh program jaminan sosial adalah status mereka yang dianggap mitra, bukan karyawan. Perusahaan aplikasi berdalih bahwa karena tidak memiliki hubungan kerja formal, maka tidak ada kewajiban mendaftarkan mitra pengemudi ke BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengamanatkan bahwa semua pekerja, baik formal maupun informal, berhak dan wajib didaftarkan dalam program jaminan sosial.
Pemerintah sebagai regulator memiliki tanggung jawab untuk memastikan perlindungan kerja bagi semua warga negara. Termasuk dengan mendorong atau bahkan mewajibkan perusahaan aplikasi untuk menyertakan klausul pendaftaran jaminan sosial dalam perjanjian kemitraan. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) maupun Peraturan Presiden dapat menjadi payung hukum untuk mengatur kewajiban tersebut secara eksplisit.
Contoh Negara Lain: Pembelajaran Global
Negara-negara lain telah mengambil langkah progresif dalam memberikan perlindungan kepada pekerja gig economy. Di Spanyol, pemerintah memutuskan bahwa pengemudi layanan ride-hailing harus diperlakukan sebagai karyawan, sehingga mendapatkan hak penuh atas jaminan sosial. Di India, pemerintah menetapkan kontribusi wajib untuk pekerja gig ke dalam skema perlindungan sosial yang didanai bersama oleh perusahaan dan negara.
Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pendekatan-pendekatan ini. Meski struktur ketenagakerjaan dan kapasitas fiskal berbeda, prinsip dasarnya tetap sama: pekerja yang rentan butuh perlindungan nyata dari negara.
Kendala Lapangan: Regulasi, Edukasi, dan Kemauan Politik
Salah satu tantangan dalam memperluas cakupan jaminan sosial bagi pengemudi ojol adalah lemahnya penegakan regulasi. Banyak perjanjian kemitraan yang tidak mengatur secara tegas kewajiban pendaftaran jaminan sosial. Selain itu, edukasi kepada para pengemudi tentang manfaat dan pentingnya menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan juga masih minim. Beberapa pengemudi bahkan tidak tahu bahwa mereka dapat mendaftar secara mandiri sebagai peserta Bukan Penerima Upah (BPU).
Namun, kendala utama tetap terletak pada kemauan politik. Jika pemerintah benar-benar menempatkan isu perlindungan sosial sebagai prioritas, maka peraturan dan pengawasan yang lebih tegas terhadap perusahaan aplikator harus segera diberlakukan. Tanpa tekanan dari negara, besar kemungkinan perusahaan akan terus menghindari tanggung jawab sosial tersebut demi efisiensi biaya.
Potensi Keuntungan bagi Semua Pihak
Mendaftarkan pengemudi ojol dalam program jaminan sosial sebenarnya bukan hanya menguntungkan pihak pekerja, melainkan juga perusahaan dan negara secara keseluruhan.
Bagi perusahaan, kepesertaan dalam jaminan sosial akan meningkatkan citra dan reputasi sebagai entitas bisnis yang beretika dan bertanggung jawab.
Bagi negara, meningkatnya jumlah peserta akan memperkuat sistem jaminan sosial nasional, meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat, dan mengurangi beban bantuan sosial di masa depan.
Bagi masyarakat, meningkatnya perlindungan sosial akan memperkuat daya beli, stabilitas sosial, dan kepercayaan terhadap ekosistem digital.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk menyelesaikan masalah 1,7 juta pengemudi ojol yang belum terlindungi program Jamsostek, beberapa langkah strategis dapat diambil:
1. Revisi regulasi perjanjian kemitraan: Pemerintah perlu menetapkan standar minimum isi perjanjian kemitraan antara aplikator dan pengemudi, yang mewajibkan pendaftaran jaminan sosial.
2. Sanksi administratif: Penerapan sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban jaminan sosial.
3. Subsidi iuran untuk pekerja informal: Memberikan subsidi iuran bagi pengemudi dengan pendapatan rendah agar tidak merasa terbebani.
4. Kampanye nasional edukasi jaminan sosial: Meningkatkan literasi pengemudi ojol tentang pentingnya perlindungan sosial melalui pendekatan komunitas dan teknologi.
5. Platform digital BPJS yang ramah pengguna: Menyediakan sistem pendaftaran dan pembayaran iuran yang mudah diakses melalui aplikasi mobile.
Mengarusutamakan Keadilan Sosial di Era Digital
Isu perlindungan sosial bagi pengemudi ojol bukan hanya soal administrasi atau hubungan kerja semata, melainkan cermin dari keberpihakan negara terhadap keadilan sosial di era digital. Negara tidak boleh kalah cepat dari pertumbuhan teknologi yang menata ulang lanskap ketenagakerjaan. Ketika perusahaan raksasa digital dapat berkembang pesat dengan memanfaatkan tenaga kerja fleksibel, maka negara harus hadir memastikan bahwa fleksibilitas itu tidak berarti keterlantaran.
Langkah-langkah konkret harus segera diambil agar 1,7 juta pengemudi ojol tidak terus berada di pinggiran sistem perlindungan. Mereka bukan sekadar ikon jalanan digital, melainkan manusia yang punya keluarga, tanggungan, dan hak untuk hidup aman serta sejahtera.
Penutup
Ketiadaan jaminan sosial bagi 1,7 juta pengemudi ojol adalah alarm keras yang harus segera direspons oleh pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan nyata dari ketimpangan sistemik yang harus diperbaiki. Ke depan, perlindungan sosial bagi pekerja informal dan sektor gig economy harus menjadi prioritas nasional, bukan sekadar opsi tambahan. Negara yang adil adalah negara yang tidak membiarkan yang lemah berdiri sendiri menghadapi risiko kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI